Liputan6.com, Jakarta - Mantan presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), membagikan ‘resep’ bagaimana Indonesia bangkit dari keterpurukan ekonomi pada awal masa pemerintahannya.
“Saat saya masuk tahun 2004, pertumbuhan ekonomi hanya 4 persen. Dalam setahun, kami berhasil menaikkannya menjadi 5,1 persen dan itu terjaga selama 10 tahun,” ucapnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (9/3/2025).
Baca Juga
Ia mengatakan bahwa kondisi terpuruknya ekonomi dikarenakan investasi yang rendah yang diakibatkan dari tidak adanya stabilitas sosial maupun ekonomi.
Advertisement
“Situasi kita waktu itu tidak ada keamanan, tidak ada stabilitas sosial, iklim investasi buruk, tidak ada kepastian hukum, kurangnya infrastruktur. Investment climate was so poor (iklim investasi sangat buruk). Siapa mau investasi di Indonesia? Yang ada capital outflow, rupiah terguncang,” dia membeberkan.
Untuk membangkitkan kembali Indonesia dari keterpurukan ekonomi, SBY menerapkan empat kunci utama, yaitu meningkatkan konsumsi rumah tangga, meningkatkan belanja pemerintah, memastikan ekspor terus mengalir, dan investasi.
“Termasuk hilirisasi dan industrialisasi yang harus berhasil,” imbuhnya.
Ketika ditanya mengenai ekonomi saat ini, SBY optimistis bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat menghadapi tantangan yang ada.
“Saya yakin pemerintah ini bisa, Presiden Prabowo bisa. Masih ada sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya politik maupun ekonomi, untuk mengatasi situasi dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi kita,” ucapnya.
Lebih lanjut, SBY juga membagikan pandangannya tentang Indonesia masa depan.
“Tetaplah optimistis memandang Indonesia. Masa depan bisa saja ada masa-masa mendung, tapi Indonesia adalah negara yang hebat,” ujarnya.
SBY: Never Give Up untuk Palestina
Konflik Israel-Palestina telah menjadi salah satu isu global paling kompleks dan berkepanjangan. Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (75) atau yang akrab disapa SBY menilai two state solution atau solusi dua negara adalah opsi terbaik yang dapat diterima kedua belah pihak, sekalipun masih terdapat tantangan besar.
SBY menuturkan secara umum terdapat dua aliran pemikiran dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Pertama, two state solution, yaitu dua negara berdaulat yang hidup berdampingan, Israel dan Palestina. Kedua, one state solution, yaitu hanya satu negara, Israel saja atau Palestina saja.
"Meskipun tidak kecil tantangannya karena ada yang tidak setuju dengan two state solution, menurut saya itulah yang bisa diterima oleh kedua belah pihak, Israel maupun Palestina," ujar SBY dalam program Bincang Liputan6.
SBY mengakui implementasi two state solution tidak mudah. Di Israel, kelompok garis keras yang dominan menolak keberadaan negara Palestina. Sementara di Palestina, kelompok seperti Hamas juga menentang two state solution dan menginginkan hanya satu negara, yaitu Palestina.
"Mereka dominan. Mereka keras. Oleh karena itu, terwujud atau tidak terwujudnya itu (two state solution) bergantung kepada Israel dan Palestina," tegas SBY, seraya menekankan konsensus internal di kedua pihak sangat penting.
"Apakah bisa membentuk konsensus supaya tidak berlarut-larut konflik dan peperangan ini? Ada dua negara sama-sama berdaulat, side by side dalam hubungan yang damai."
Selain faktor internal Israel dan Palestina, SBY menyoroti peran negara-negara lain, terutama yang memiliki pengaruh di kawasan Timur Tengah.
"Mestinya, sahabat-sahabat dekat Palestina atau yang dekat sama Israel, katakanlah bisa berdamai untuk menuju ke situ," kata SBY yang menjabat sebagai presiden Republik Indonesia pada periode 2004-2014.
Advertisement
Infografis
