Liputan6.com, Jakarta - Banjir besar yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada awal Maret 2025 lalu menjadi perhatian serius sejumlah pihak.
Banjir tersebut dipicu hujan deras yang mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya selama tiga hari berturut-turut, mengakibatkan sejumlah sungai meluap, termasuk Ciliwung yang dipengaruhi meluapnya Bendung Katulampa di Bogor.
Baca Juga
Situasi ini menyoroti peningkatan tren curah hujan ekstrem di Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat peningkatan signifikan kejadian hujan di atas 150 mm dalam 24 jam, sebuah tren yang mengkhawatirkan.
Advertisement
Peringatan ini disampaikan langsung oleh Plt Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam webinar bertajuk 'Refleksi Banjir Jabodetabek, Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem' yang digelar pada Senin (24/3/2025).
Webinar tersebut membahas dampak perubahan iklim terhadap peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi.
Hujan Ekstrem Semakin Sering
Dwikorita mamaparkan data BMKGÂ yang menunjukkan adanya tren mengkhawatirkan terkait curah hujan ekstrem di Indonesia, termasuk Jakarta dan sekitarnya.
Kejadian curah hujan yang melampaui 150 mm dalam 24 jam semakin meningkat, dengan grafik yang menunjukkan peningkatan signifikan di berbagai wilayah Indonesia. Curah hujan ekstrem yang melampaui 100 mm bahkan 150 mm dalam sehari kini semakin sering terjadi, sehingga memperburuk risiko banjir di wilayah-wilayah yang sudah rawan.
Tak hanya Indonesia, data BMKG ini juga menunjukkan bahwa suhu permukaan hingga suhu udara secara global terus mengalami peningkatan.Â
Advertisement
Ancaman Banjir Besar Akibat Perubahan Iklim
Dwikorita menekankan peningkatan suhu permukaan udara global dan nasional sebagai faktor penyebab peningkatan risiko kekeringan dan banjir. Perubahan iklim yang ekstrem, menurutnya, menyebabkan fenomena cuaca seperti kekeringan dan banjir yang semakin parah.
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan, "Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek baru-baru ini, yang sebelumnya diperkirakan sebagai banjir lima tahunan, kini menjadi peringatan bahwa perubahan iklim mengubah pola cuaca yang lebih ekstrem."
Para ahli memprediksi, tanpa pengelolaan lingkungan yang efektif, banjir besar yang biasanya terjadi lima tahun sekali bisa saja menjadi tiga tahunan. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa bencana serupa bisa menjadi "kenormalan baru" dan terjadi setiap tahun. Intensitasnya pun diprediksi akan setara dengan banjir lima tahunan.
Situasi ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat dan infrastruktur Jakarta. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi sangat krusial untuk mengurangi risiko bencana.
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Dwikorita mengimbau pemerintah dan masyarakat untuk lebih serius dalam menangani perubahan iklim dan memperkuat upaya mitigasi. Pengelolaan lingkungan yang lebih baik menjadi kunci.
Perencanaan tata ruang yang berkelanjutan juga sangat penting. Hal ini akan membantu mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim terhadap lingkungan dan masyarakat.
Upaya pengurangan emisi gas rumah kaca juga harus segera dilakukan. Langkah ini merupakan bagian penting dalam mitigasi perubahan iklim secara global.
Dengan menggabungkan berbagai strategi mitigasi dan adaptasi, diharapkan risiko banjir akibat perubahan iklim di Jakarta dapat diminimalisir. Kesadaran dan partisipasi masyarakat sangat penting dalam upaya ini.
Advertisement
