`Derita` Pekerja Kereta Api

Banyak pekerja Kereta Api yang mendapat ancaman pemecatan dari berbagai pihak.

oleh Oscar Ferri diperbarui 26 Jun 2013, 00:02 WIB
Diterbitkan 26 Jun 2013, 00:02 WIB
pekerja-kereta-130625c.jpg
Ratusan pekerja outsourcing dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) melakukan mogok kerja dengan berunjuk rasa di Kantor PT KCJ, Stasiun Juanda, Gambir, Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar status mereka diangkat menjadi karyawan tetap.

Terkait aksi ini, banyak para pekerja yang mendapat ancaman pemecatan dari berbagai pihak. Baik melalui pesan singkat maupun teror verbal kepada pihak keluarga. Salah satunya yang diterima seorang pekerja berinisial R.

Pria 31 tahun yang bekerja sebagai petugas keamanan di Stasiun Depok, Jawa Barat itu mengatakan, seorang komandan regu di Stasiun Depok menyambangi kediamannya.

"Istri saya tadi pagi kirim pesan singkat, minta saya pulang dan tidak usah ikut demo. Kalau masih saya dan teman-teman tetap ikut demo nanti dipecat semua," kata R menirukan ucapan istrinya kepada Liputan6.com di depan Stasiun Juanda, Jalan H Ir Juanda, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2013).

Namun, demi menuntut kesejahteraan sebagai pekerja, R tetap berjuang bersama teman-temannya dengan berunjuk rasa. Meski risiko pemecatan membayanginya.

R juga bercerita, ada lebih dari 10 orang mendapat pesan singkat berisi ancaman pemecatan jika tetap nekat melakukan aksi unjuk rasa. Namun, pesan singkat itu diabaikan demi menuntut hak mereka.

"Kami tidak peduli, kalau tidak begini kami diinjak-injak terus," ujar pria yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya itu.

R menganggap, para pekerja outsourcing ini sudah seperti 'keset'. Di mana mereka tak hanya bekerja di loket maupun mengamankan stasiun, tetapi juga diperintahkan untuk membersihkan sampah yang berserakan di peron stasiun yang notabene menjadi tugas kebersihan.

"Waktu penggusuran PKL saya juga dilibatkan. Kita sudah berkorban, sampai-sampai keluarga saya bilang saya tidak manusiawi karena ikut menggusur PKL. Tapi kenyataannya yang kita terima dari perusahaan outsourcing ini pahit benar," ungkapnya.

Dia menilai pahit, lantaran kesejahteraan para pekerja ini sangat tidak diperhatikan. Bahkan, pihak perusahaan terkesan masa bodoh dengan nasib mereka yang mencari nafkah.

"Saya mau nikah saja tahun lalu itu tidak diizinkan libur. Saya diharuskan mencari tukar libur dengan teman saya. Jadi waktu itu saya nikah, besoknya langsung masuk full seminggu," paparnya.

"Saya juga pernah jadi korban pengeroyokan sama penumpang pas ikut menertibkan para penumpang di atas atap (KRL). Muka dan badan saya pada biru-biru, memar. Boro-boro dijenguk sama atasan, saya tetap harus masuk besoknya dengan badan masih sakit-sakit," keluh R.

Gaji Kecil

Seorang rekan kerja Rustam, J juga mengutarakan, bahwa gaji yang diterimanya per bulan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ia dan teman-teman menerima gaji sebesar Rp 2.002.000.

Gaji tersebut, kata lelaki berusia 25 tahun itu diterimanya tidak penuh. Hal itu dikarenakan adanya pemotongan tiap bulan untuk mengkredit uang muka ketika pertama kali masuk kerja.

"Saya sama teman-teman itu dulu mau masuk kerja itu harus bayar dulu Rp 2 juta, bayarnya dicicil dengan dipotong dari gaji setiap bulan sampai lunas," jelas J.

Selain itu, lanjutnya, hampir setiap bulan selalu ada saja potongan-potongan lain. Misalnya untuk Jamsostek. "Tapi pas saya dan teman-teman saya cek, ternyata nominal di Jamsosteknya itu nol. Belum lagi potongan buat bikin kartu gratis naik KRL buat kita-kita, tapi sudah 3 bulan kartu itu belum kita terima," bebernya.

Terkait aksi ini, sambung J, beberapa waktu lalu dia bersama teman-temannya juga mendapat ancaman dari pihak PT KCJ yang mengatakan, akan membuang mereka per tanggal 1 Juli.

"Saya lupa namanya, tapi yang jelas dia dari PT KCJ. Dia bilang kalau saya dan teman-teman bakal tidak dipakai lagi tanggal 1 Juli ini. Digantiin sama pegawai dari outsourcing lain," kata J.

"Makanya, kita demo itu karena kita sudah banyak berkorban di luar pekerjaan kita. Ikut bersihin sampah di stasiun, ikut menggusur PKL, dan lain-lain. Sudah berkorban masa mau dibuang-buangin begitu saja," tambahnya.

Untuk itu, R dan J beserta ratusan pekerja outsourcing lainnya ini sangat berharap, mereka diangkat sebagai karyawan tetap oleh PT KCJ. "Itu saja harapan kita, karena kita sudah capek kerja outsourcing," ucap mereka.

Mogok Kerja Berakhir Ricuh

Demonstrasi ratusan pekerja PT KAI dan PT KCJ berlangsung ricuh. Polisi terpaksa membubarkan paksa massa yang berjumlah sekitar 200 orang itu karena memaksa masuk ke kantor direksi PT KCJ di lantai 2 Stasiun Juanda, Jakarta Pusat.

Pantauan Liputan6.com, awalnya hanya terjadi saling dorong antara polisi bertameng dan berkayu rotan itu dengan demonstran. Tiba-tiba ada lemparan batu dari arah demonstran ke kerumunan polisi. Bentrokan pun pecah.

Polisi kemudian memukuli para demonstran. Selain turut balas melempar batu, polisi juga menembakkan gas air mata ke arah demonstran yang hanya berjarak sekitar 2 meter itu.

Alhasil, demonstran yang menuntut diangkat statusnya menjadi karyawan tetap itu lari kocar-kacir. Massa berhamburan ke semua arah di kawasan Stasiun Juanda.

Lempar Tanggung Jawab

Menanggapi hal ini, PT KCJ melempar tanggung jawab kepada para vendor perusahaan outsourcing yang bekerja sama dengan PT KCJ. "Karena kita kontrak dengan vendor bukan perorangan. Jadi itu merupakan tanggung jawab vendor," kata Direktur Komersil dan Humas PT KCJ, Makmur Syaheran.

PT KCJ, kata Makmur, tidak akan menetapkan status para pekerja untuk menjadi karyawan tetap. Sebab, PT KCJ telah melimpahkan kepada perusahaan outsourcing sebagai pihak ketiga sejak beberapa tahun lalu untuk memperkerjakan di beberapa bidang pekerjaan berkenaan dengan proses perjalanan KRL setiap harinya.

"Dari kita ini kontrak kerja dengan vendor yang selama ini sudah berlangsung. Seluruh karyawan itu ya jadi tanggung jawab vendor yang bekerja sama dengan kita," jelas Makmur.

Direktur Utama PT KCJ Tri Handoyo menambahkan, dirinya tidak mengetahui terkait dengan berbagai ancaman pemecatan dan intimidasi yang diterima para pekerja terkait aksi mogok kerja. Menurutnya, ancaman-ancaman yang datang dari pesan singkat bukan merupakan bukti yang valid.

"Kalau soal ancaman saya tidak tahu. Masa pesan singkat itu dipercaya. Pesan singkat itu kan bisa saja tidak valid. Apalagi nomor ponsel sekarang kan bisa dibeli mana saja," pungkas Tri. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya