Angka ambang batas bagi partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), yang terangkum dalam pembahasan revisi Undang-undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dinilai masih relevan.
"Kami melihat belum ada urgensinya untuk direvisi," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, dalam pesan singkatnya yang diterima Liputan6.com, Senin (1/7/2013).
Dia juga membantah kabar tentang fraksinya yang ingin menjegal partai kecil dan menengah. Menurutnya, angka yang berlaku tersebut telah ditetapkan sejak 2008. "Tidak benar kami memonopoli capres. Sekarang elektabilitas kami juga sedang turun," kata dia.
Nurhayati menilai angka presidential threshold sebesar 20% perlu dipertahankan agar dapat menjadi seleksi alamiah bagi pemimpin bangsa. "Semakin sedikit capres yang tampil juga semakin mengefisienkan ongkos demokrasi. Terlalu banyak capres, biaya demokrasinya terlalu tinggi. Pendidikan ke masyarakat juga sulit," imbuh Nurhayati.
Karena itu, menurutnya setiap revisi UU harus berdasarkan pada kepentingan bangsa, bukan kelompok ataupun individu. Apalagi masih banyak rancangan UU lain yang lebih urgen untuk dibahas dan disahkan DPR ketimbang UU Pilpres. "Pekerjaan legislasi yang lain masih banyak. Kami prioritaskan kepentingan bangsa dan negara," tegas Nurhayati. (Ado/Yus)
"Kami melihat belum ada urgensinya untuk direvisi," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, dalam pesan singkatnya yang diterima Liputan6.com, Senin (1/7/2013).
Dia juga membantah kabar tentang fraksinya yang ingin menjegal partai kecil dan menengah. Menurutnya, angka yang berlaku tersebut telah ditetapkan sejak 2008. "Tidak benar kami memonopoli capres. Sekarang elektabilitas kami juga sedang turun," kata dia.
Nurhayati menilai angka presidential threshold sebesar 20% perlu dipertahankan agar dapat menjadi seleksi alamiah bagi pemimpin bangsa. "Semakin sedikit capres yang tampil juga semakin mengefisienkan ongkos demokrasi. Terlalu banyak capres, biaya demokrasinya terlalu tinggi. Pendidikan ke masyarakat juga sulit," imbuh Nurhayati.
Karena itu, menurutnya setiap revisi UU harus berdasarkan pada kepentingan bangsa, bukan kelompok ataupun individu. Apalagi masih banyak rancangan UU lain yang lebih urgen untuk dibahas dan disahkan DPR ketimbang UU Pilpres. "Pekerjaan legislasi yang lain masih banyak. Kami prioritaskan kepentingan bangsa dan negara," tegas Nurhayati. (Ado/Yus)