Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Mulyana W Kusumah menilai, kerusuhan yang terjadi di LP Tanjung Gusta, Medan, Sumut, dilatarbelakangi berbagai faktor. Di antaranya kondisi daya tampung lapas yang sudah sangat melebihi batas (overload).
"Daya tampung normal 1.064 orang, dihuni 2.600 orang. Sesaknya Lapas mengakibatkan melipatnya tekanan psikologis terhadap komunitas napi," ujar Mulyana melalui pesan singkatnya di Jakarta, Jumat (12/7/2013).
Menurut Mulyana, kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta juga karena faktor historis. Kerusuhan di lapas itu pernah terjadi pada Mei 1996 yang menewaskan 6 orang, Januari 2003 dan April 2013. "Hal itu menunjukan tidak ada perbaikan dalam kebijakan umum pelaksanaan pemasyarakatan yang merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kemenkumham."
Dengan kebijakan umum yang menjauh dari Standard Minimum Rules for Prisoners (Standar Aturan Minimal Pemenjaraan), kata Mulyana, manajemen lapas tidak dapat mengoptimalkan pembinaan napi.
Faktor lainya, lanjut Mulyana, adanya pengelompokan napi berdasarkan kejahatan yang dilakukan atau 'geng' yang sudah menjadi ciri di berbagai lapas kelas I dengan tokoh-tokoh berpengaruh. Mereka dapat berperan sebagai pemelihara stabilitas penjara, tetapi juga dapat menjadi faktor yang mendorong destabilisasi lapas.
"Kebijakan ekstra-restruktif yang dituangkan dalam bentuk regulasi pembatasan hak-hak napi mendorong tokoh-tokoh ini untuk mempengaruhi napi lain melakukan perlawanan terbuka dengan melibatkan para ahli sesuai bidangnya antara lain penologi, psikolog, kriminolog dan sebagainya," papar Mulyana. (Mut/Sss)
"Daya tampung normal 1.064 orang, dihuni 2.600 orang. Sesaknya Lapas mengakibatkan melipatnya tekanan psikologis terhadap komunitas napi," ujar Mulyana melalui pesan singkatnya di Jakarta, Jumat (12/7/2013).
Menurut Mulyana, kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta juga karena faktor historis. Kerusuhan di lapas itu pernah terjadi pada Mei 1996 yang menewaskan 6 orang, Januari 2003 dan April 2013. "Hal itu menunjukan tidak ada perbaikan dalam kebijakan umum pelaksanaan pemasyarakatan yang merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kemenkumham."
Dengan kebijakan umum yang menjauh dari Standard Minimum Rules for Prisoners (Standar Aturan Minimal Pemenjaraan), kata Mulyana, manajemen lapas tidak dapat mengoptimalkan pembinaan napi.
Faktor lainya, lanjut Mulyana, adanya pengelompokan napi berdasarkan kejahatan yang dilakukan atau 'geng' yang sudah menjadi ciri di berbagai lapas kelas I dengan tokoh-tokoh berpengaruh. Mereka dapat berperan sebagai pemelihara stabilitas penjara, tetapi juga dapat menjadi faktor yang mendorong destabilisasi lapas.
"Kebijakan ekstra-restruktif yang dituangkan dalam bentuk regulasi pembatasan hak-hak napi mendorong tokoh-tokoh ini untuk mempengaruhi napi lain melakukan perlawanan terbuka dengan melibatkan para ahli sesuai bidangnya antara lain penologi, psikolog, kriminolog dan sebagainya," papar Mulyana. (Mut/Sss)