Kisah Gempa Haiti, Dari Jolie Sampai Pasukan PBB `Sebar` Kolera

AS mengumumkan pemberian bantuan US$ 100 juta. PBB menyampaikan permintaan bantuan US$ 562 juta untuk menolong tiga juta rakyat Haiti.

oleh Yus diperbarui 15 Nov 2013, 09:34 WIB
Diterbitkan 15 Nov 2013, 09:34 WIB
gempa-haiti-131115a.jpg
Angelina Jolie tiba di Republik Dominika. Ia datang untuk mengunjungi korban gempa Haiti yang terjadi pada 12 Januari 2010 itu dan dirawat di negara tetangga tersebut.

Di Dario Contreras Hospital, Jolie yang ditemani putra penulis Mario Vargas Llosa, Gonzalo Vargas Llosa, memasuki ruang perawatan anak-anak.

Di sana, "Ia berbincang dengan beberapa anak dan seorang perempuan, yang meminta bantuannya," kata kepala staf hubungan masyarakat di rumah sakit tersebut.

[Lihat juga: Jolie Kunjungi RS Darurat di Haiti]

Dampak gempa berkekuatan 7,0 skala Richter itu sungguh dahsyat. Korban tewas mencapai 217 ribu orang. Gempa terjadi pada pukul 16.45 waktu setempat dan berpusat di sekitar 10 mil barat ibu kota Haiti, Port-au-Prince.

Para saksi mata melaporkan, kerusakan benar-benar luar biasa di negara Amerika Tengah itu. Bangunan-bangunan ambruk. Orang-orang di dalamnya terjebak, bahkan tertimbun.

3 hari setelah gempa, penduduk Port-au-Prince mulai dihinggapi frustrasi akibat kekurangan pangan dan air bersih. Sementara, aroma busuk meruap santer dari jenazah-jenazah yang belum tertangani. Para penjarah yang membawa senapan menebar teror.



Beberapa jam setelah Haiti diguncang, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengumumkan pemberian bantuan US$ 100 juta.

"Amerika Serikat menawarkan bantuan dalam segala bentuk dengan kemampuan yang kami miliki, yakni di bidang diplomasi, bantuan pembangunan dan mengerahkan militer. Dan yang paling terpenting adalah rasa simpati negara kami," katanya seperti dikutip Deutsche Welle.

Bantuan itu tak mencukupi. Pihak-pihak lain juga diminta membantu. PBB menyampaikan permintaan bantuan US$ 562 juta untuk menolong tiga juta rakyat selama 6 bulan

Gayung bersambut. Negara-negara anggota Uni Eropa menawarkan paket bantuan darurat dan jangka panjang lebih dari 400 juta euro (US$ 575,6 juta) kepada Haiti.

Komisaris Pembangunan dan Bantuan Uni Eropa, Karel de Gucht mengatakan, mereka sepakat memberi bantuan, dengan rincian 137 juta euro untuk jangka pendek dan sedikitnya 200 juta euro untuk jangka menengah dan panjang.

Tudingan Wabah Kolera

Ada cerita lain dari pengerahan bantuan ini. PBB mengerahkan pasukan perdamaian untuk membantu Haiti. Salah satu negara yang mengirim tentara adalah Nepal. Di sini, pangkal persoalan.

Beberapa bulan setelah gempa, merebak wabah kolera. Beberapa pihak menuduh serdadu Nepal sebagai penyebar wabah yang menewaskan 8.000 rakyat Haiti tersebut.

Institut untuk Keadilan dan Demokrasi Haiti (IJDH) akhirnya mengajukan gugatan terhadap PBB pada November 2011. Kelompok pengacara yang berbasis di Boston, Amerika Serikat, itu menuntut badan dunia untuk memberikan kompensasi terhadap 5.000 korban wabah kolera.

PBB menolak. “Berdasarkan Pasal 29 Konvensi Keistimewaan dan Imunitas PBB, gugatan tersebut tidak dapat kami terima,” kata Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, Martin Nesirky, kepada wartawan di New York seperti dikutip Xin Hua.



Di balik tragedi ini, sejumlah keajaiban terjadi. Seorang pria, Evans Monsigrace (28), ditemukan masih hidup di balik reruntuhan pada 10 Februari 2010. Ia dikeluarkan setelah bertahan hidup reruntuhan selama 27 hari. Lelaki yang terlihat sangat kurus ini sangat beruntung karena tak mengalami luka serius.

Evans terperangkap di balik di reruntuhan pasar loak yang dulunya menjual makanan dan minuman. Di pasar itu, Evans menjual beras.

Dua warga negara Indonesia yang berada di Haiti saat gempa, Endang Dwi Satriyani dan Yogi Anggoro, kembali dengan selamat. Mereka di sana sebagai relawan misi PBB untuk stabilisasi Haiti.

[Lihat Video: Tiga WNI Ditemukan Selamat di Haiti]

Keduanya mengaku bersyukur bisa selamat dari gempa yang menewaskan ratusan ribu orang di ibu kota Haiti, Port-au-Prince, dan kembali ke Tanah Air untuk berbagi pengalamannya.

"Gempa mengguncang saat jam pulang kantor sehingga banyak orang saat itu sedang di tepi jalan. Entah apa yang terjadi kalau gempa datang saat jam kerja, mungkin akan lebih banyak lagi orang yang meninggal," ujar Yogi, kepada media setiba di Jakarta.

Sementara, Endang saat itu masih berada di kantornya. "Biasanya pukul 16.45 saya sudah akan pulang karena harus menunggu bus, tapi ketika itu karena ada teman menawarkan mengantar dengan mobilnya, saya masih menunggu sekitar 5 menit. Dalam waktu lima menit itulah gempa terjadi," kata Endang. Tuhan masih melindunginya. (Yus)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya