7 Tips Berpartisipasi dalam Gaya Hidup Ramah Lingkungan melalui Pola Makan Sehat

Lebih banyak pada tumbuhan pada saat mengatur pola makan tidak hanya akan membawa dampak yang lebih sehat tetapi sekaligus mampu mengurangi jejak karbon (carbon footprint).

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Mei 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2021, 19:00 WIB
ilustrasi makanan berserat atasi sembelit/pexels
ilustrasi makanan berserat atasi sembelit/pexels

Liputan6.com, Jakarta Ramainya pembicaraan terkait gaya hidup ramah lingkungan mungkin membuat Anda bertanya-tanya apakah ada langkah strategis dan efektif yang bisa Anda terapkan untuk ikut berpartisipasi. Jawabannya adalah iya.

Cukup dengan tidak terlalu berfokus pada daging merah dan lebih banyak pada tumbuhan pada saat mengatur pola makan tidak hanya akan membawa dampak yang lebih sehat tetapi sekaligus mampu mengurangi jejak karbon (carbon footprint).

Sama halnya saat Anda meraih makanan nabati, Anda telah membantu kesehatan Anda. Tapi, tahukah Anda bahwa planet ini juga akan berterima kasih kepada Anda?

Penelitian menunjukkan bahwa banyak makanan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia juga yang terburuk bagi lingkungan umumnya berkontribusi pada segala hal mulai dari perubahan iklim hingga hilangnya spesies hewan dan tumbuhan di seluruh dunia.

“Memilih pola makan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan adalah salah satu cara utama (bagi) orang (untuk) dapat meningkatkan kesehatan mereka dan membantu melindungi lingkungan,” kata Michael Clark, PhD, peneliti di Universitas Oxford di Inggris Raya dan penulis utama artikel yang diterbitkan pada November 2019 di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Artikel ini membahas hubungan antara makanan, lingkungan, dan kesehatan manusia.

Pemenang terbesar, menurut penelitian: makanan nabati, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan sayuran. Sementara pelanggar terburuk, masih menurut penelitian yang sama adalah produk hewani, terutama daging merah.

Memang, daging dan susu bersama-sama menyumbang sekitar 14,5 persen dari emisi gas rumah kaca global yang disebabkan oleh manusia, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Dari total sektor peternakan, daging sapi dan susu menyumbang emisi terbesar (masing-masing 41 persen dan 20 persen).

Sementara itu, sebuah penelitian yang diterbitkan pada Juni 2018 di jurnal Science, berhasil mengungkap jejak hewan ternak yang sangat besar terhadap lingkungan. Daging dan produk susu hanya menyediakan 18 persen kalori dan 37 persen protein tetapi menempati 83 persen dari lahan pertanian. 

Selain itu, hutan di seluruh dunia, termasuk hutan hujan, sedang dibuka untuk memberi ruang bagi ternak, terutama peternakan, menurut FAO. Deforestasi ini tidak hanya menyebabkan hilangnya habitat hewan dan tumbuhan, mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak hutan, yang berperan penting dalam membantu menyerap gas rumah kaca dari atmosfer.

Oleh karena itu, ketika berbicara tentang makan untuk kesehatan lingkungan, petunjuk No. 1 adalah memilih makanan nabati daripada hewani. Jika Anda belum siap untuk beralih pilihan dari burger dan steak sepenuhnya, mengurangi asupan daging merah dapat menjadi langkah yang tepat. 

Pemodelan skala besar telah menunjukkan bahwa pengurangan daging dan susu hingga setengahnya dapat mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 40 persen.

Mengutip Everyday Health, Selasa (11/5/2021), berikut ini adalah tujuh langkah untuk memperbaiki pola makan Anda sekaligus beralih ke gaya hidup yang lebih ramah lingkungan (sustainable living).

1. Jauhi daging merah

[Fimela] Daging Merah
Ilustrasi daging merah | unsplash.com/@joseignaciopompe

Biaya lingkungan dari produksi daging merah, terutama daging sapi dan domba, mengambil dampak terbesar pada lima indikator lingkungan teratas, termasuk emisi gas rumah kaca, degradasi tanah dan sumber daya air, dan gangguan ekosistem, menurut studi PNAS.

Sementara memproduksi daging merah olahan memberikan dampak lingkungan terburuk kedua. Contoh daging merah olahan termasuk hot dog, ham, sosis, dan dendeng, seperti catatan Organisasi Kesehatan Dunia.

Idealnya, berusaha untuk mengganti daging merah dengan protein nabati berkualitas tinggi, sehingga memilih daging merah hanya sesekali saja akan menjadi perbaikan, menurut studi PNAS.

2. Pilih kacang-kacangan bergizi untuk protein nabati

Makanan nabati seperti kacang-kacangan, kacang polong, dan lentil adalah beberapa makanan paling menyehatkan dan dapat dengan mudah menggantikan protein hewani, menurut Harvard T.H Chan School of Public Health. 

Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian yang diterbitkan pada Mei 2016 di Frontiers in Plant Science yang menyebut kacang-kacangan sebagai solusi yang saling menguntungkan untuk keberlanjutan pertanian.

Secara nutrisi, selain protein nabati, kacang-kacangan juga menyediakan serat nutrisi utama dan vitamin B dan mereka mungkin berperan dalam membantu mencegah kanker dan penyakit jantung tertentu.

Kelompok nirlaba bernama Environmental Working Group (EWG) yang mengkhususkan diri dalam penelitian dan advokasi tentang subsidi pertanian, bahan kimia beracun, dan polutan air minum, juga menempatkan kacang-kacangan sebagai protein ramah iklim no. 1.

3. Pilihlah biji-bijian utuh yang belum diproses dan lebih bergizi

Sereal dan biji-bijian adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang mendapat nilai tinggi untuk kesehatan dan manfaat lingkungan selama diproses secara minimal dan utuh. 

“Biji-bijian utuh menawarkan lebih banyak manfaat bagi tubuh kita daripada biji-bijian olahan, yang kehilangan nutrisi berharga,” jelas Lilian Cheung, RD, direktur promosi kesehatan dan komunikasi di Harvard T.H Chan School of Public Health. 

Selain serat, biji-bijian juga mengandung vitamin B, mineral, dan protein, serta senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan yang membantu tubuh mencegah penyakit, kata Cheung.

Ambil satu langkah lebih jauh dengan memilih biji-bijian kuno seperti sorgum, barley, wild rice, spelt, dan teff yang bahkan lebih bergizi dan dapat meningkatkan kesehatan tanah dan membantu mengimbangi emisi karbon, menurut laporan World Wide Fund (WWF) for Nature and Knorr.

Kerang Mentah
Ilustrasi Kerang Mentah Credit: pexels.com/pixabay

Meski sering disebut makanan sehat, salmon memiliki sisi gelap yang serius. Salmon sekarang hampir secara eksklusif dibesarkan di peternakan pada dasarnya kandang, dimana ikan yang padat sering diberi makan antibiotik secara terus menerus untuk mencegah infeksi bakteri, menurut sebuah artikel yang diterbitkan pada September 2018 di PLOS One

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa praktik ini dapat menumbuhkan resistensi antibiotik. Seperti yang dilaporkan BBC, salmon yang dibudidayakan juga secara rutin dirawat dengan bahan kimia untuk menangkal infestasi kutu laut yang telah menjadi umum dalam beberapa tahun terakhir.

Secara umum, salmon liar dikatakan lebih aman untuk kesehatan pribadi daripada yang dibudidayakan. Secara lingkungan, beberapa kelompok pengawas makanan laut menganggap salmon Alaska liar sebagai pilihan yang baik, meskipun itu juga memiliki masalah, menurut Oceana, sebuah organisasi nirlaba yang berdedikasi untuk melindungi dan memulihkan lautan dunia.

Alternatif yang sangat baik untuk menggantikannya adalah kerang, seperti tiram dan remis. Semuanya adalah pembangkit tenaga nutrisi dan tinggi asam lemak omega-3, protein, dan mineral, menurut Oceana. Kerang juga memiliki dampak lingkungan yang rendah dan karena mereka adalah filter feeder yang sebenarnya dapat membantu sumber air bersih.

5. Jangan lupakan jamur

Jamur telah dibudidayakan selama berabad-abad karena rasa dan nilai nutrisinya, dan sebuah penelitian yang diterbitkan pada Januari 2021 di Food Science & Nutrition menemukan bahwa menambahkan satu porsi jamur ke dalam makanan secara signifikan akan meningkatkan serat dan beberapa mikronutrien yang sering kali tidak cukup didapatkan, seperti vitamin D dan kalium. 

Faktanya, jenis jamur tertentu yang terpapar sinar UV adalah satu-satunya sumber vitamin D yang berasal dari tanaman yang dapat dimakan, menurut National Institutes of Health

Selain berbagai nutrisi lain seperti vitamin B, jamur mengandung zat yang telah menunjukkan efek antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-kanker dalam penelitian laboratorium dan hewan, menurut ulasan yang diterbitkan pada Juli 2016 di Molecules. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa jamur dapat membantu melindungi dari kanker, termasuk kanker payudara pada wanita pra menopause.

Mengenai dampak lingkungannya, jamur terkenal karena kemampuannya yang ramah iklim dalam menyerap karbon. Dengan kata lain, jamur dapat membantu mengurangi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. 

Mereka menempati peringkat di antara 10 kelompok makanan teratas dalam laporan yang disebutkan di atas dari WWF for Nature and Knorr.

6. Tukar asparagus dengan brokoli untuk menghasilkan jejak karbon yang lebih kecil

Sayuran Brokoli
Ilustrasi Sayuran Brokoli Credit: unsplash.com/Louis

Meski sehat, asparagus adalah salah satu dari 10 makanan umum yang merusak iklim, menurut Natural Resources Defense Council (NRDC), sebuah kelompok advokasi lingkungan nirlaba. Sebagai permulaan, menanam asparagus membutuhkan 258 galon air per pon, sedangkan brokoli, sebagai perbandingan, hanya menggunakan sekitar 34 galon per pon. 

Selain itu, untuk kasus di Amerika Serikat misalnya. Sebagian besar asparagus yang dijual di Amerika Serikat diterbangkan dari Amerika Latin, yang secara signifikan meningkatkan jejak karbon sayuran tersebut. 

Brokoli, di sisi lain, sering ditanam di Amerika Serikat dan secara konsisten menempati peringkat sebagai salah satu sayuran yang lebih bersih yang membutuhkan relatif lebih sedikit pestisida yang telah dikaitkan dengan masalah kesehatan manusia dan lingkungan, menurut sebuah ulasan yang diterbitkan di Juli 2016 di Frontiers in Public Health.

Kebanyakan orang mengenal brokoli karena manfaat kesehatannya. Seperti sayuran silangan lainnya, sayuran ini kaya akan berbagai senyawa tanaman yang dapat membantu mengurangi risiko peradangan dan kanker, menurut Harvard T.H Chan School of Public Health

7. Singkirkan keju atau setidaknya pilihlah dengan bijak

Keju berada di urutan ketiga dalam daftar EWG yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga setelah daging domba dan sapi. Makanan ini menghasilkan emisi tertinggi karena berasal dari hewan ruminansia (hewan pemamah biak), yang menghasilkan metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida, menurut EWG. 

Keju juga memiliki jejak karbon yang tinggi karena membutuhkan banyak susu, yakni sekitar 10 pon untuk menghasilkan 1 pon keju keras.

Jika Anda belum siap mengucapkan selamat tinggal pada keju, NRDC merekomendasikan untuk memilih merek yang diproduksi secara lokal, untuk membantu mengimbangi emisi transportasi. 

Anda juga dapat membeli produk organik, yang tidak diproduksi dengan pestisida dan pupuk kimia dan memilih produk yang kurang padat, seperti keju cottage, yang membutuhkan lebih sedikit susu untuk diproduksi.

Reporter: Priscilla Dewi Kirana

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya