Liputan6.com, Jakarta Perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh Pemerintah adalah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan, pada sambutannya di acara Sosialisasi RUU KUHP, di Palu, Selasa (15/11).
“Upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,” jelasnya.
Advertisement
RUU KUHP sendiri telah dimulai rancangannya sejak tahun 1970 oleh Pemerintah. Penyusunan RUU KUHP juga telah melalui berbagai diskusi dan sosialisasi yang melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat.
Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas terkait RKUHP, Pemerintah terus melakukan sosialisasi sebagai sarana untuk memberikan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memiliki KUHP Nasional menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda agar masyarakat bisa mendapatkan kepastian hukum yang berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945, dan Hak Asasi Manusia.
Beberapa kegiatan sosialisasi RUU KUHP diungkapkan Bambang antara lain Kick Off Dialog Publik RKUHP, dan dialog publik di 11 kota di Indonesia, yang diselenggarakan untuk menyebarkan informasi perkembangan terkini draft RUU KUHP, sekaligus membuka ruang dialog, serta menghimpun masukan dari seluruh elemen masyarakat.
“Sosialisasi akan kembali dilanjutkan untuk menyampaikan narasi-narasi terkait RUU KUHP, yang mudah dicerna oleh masyarakat,” kata Bambang.
Dia berharap acara Sosialisasi RUU KUHP ini dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RUU KUHP kepada elemen-elemen publik secara luas.
“Semoga acara ini membawa manfaat yang besar dan positif bagi kita, masyarakat, dan negara. Mari kita dukung KUHP buatan Bangsa Indonesia,” tutupnya.
Sebelumnya acara dimulai dengan sambutan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Sulbadana, yang mengatakan bahwa melihat dari perjalanan dalam upaya untuk mewujudkan KUHP yang sesuai dengan jiwa Bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila memakan waktu yang tidak sebentar, yaitu hampir 60 tahun lamanya.
Menurutnya, penyusunan peraturan perundang-undangan bukanlah sesuatu hal yang mudah. Namun, ia khawatir jika terlalu lama dalam satu perdebatan untuk menghasilkan suatu perundang-undangan yang baik, bahkan hingga lebih dari 50 tahun, akan memberi kesan yang tidak baik terhadap kemampuan intelektualitas para ahli hukum, khususnya ahli hukum pidana.
“Oleh karena itu, dengan kegiatan pada hari ini Insya Allah akan berkontribusi untuk mendorong segera lahirnya KUHP yang bersumber dari kepribadian Bangsa Indonesia, yang dihasilkan oleh ahli hukum Indonesia sendiri,” harapnya.
Memulai sesi sosialisasi, Guru Besar Universitas Negeri Semarang R. Benny Riyanto, mengatakan bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah warisan kolonial Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang sudah dinaturalisasi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
“Walaupun sudah dinaturalisasi, karena itu merupakan produk kolonial Belanda, pasti belum mendasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terkait dengan perlindungan dasar falsafah negara kita Pancasila,” ungkapnya.
Ide Muncul
Menurut sejarahnya, ide pembaruan KUHP diawali sejak lahirnya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada 1958 yang kini sudah berganti nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Benny juga menjabarkan perbedaan antara KUHP WvS dan RUU KUHP, di mana secara sistematika ada perbedaan dalam jumlah buku. KUHP WvS memiliki tiga buku, sedangkan RUU KUHP memiliki dua buku saja.
“Dari tiga buku di dalam WvS, draft RUU KUHP menyederhanakan dengan menggabungkan Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran menjadi satu terminologi yang namanya Tindak Pidana. Sehingga draft RUU KUHP hanya ada dua buku, Buku I dan Buku II,” jelasnya.
Benny mengatakan ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif.
“Dengan pergeseran paradigma ini memang menuntut KUHP WvS untuk segera diganti karena sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan hukum pidana saat ini, karena tuntutan dari paradigma baru berlaku secara universal di seluruh belahan dunia kita,” jelasnya.
Selain itu, hukum tertulis juga selalu tertinggal dari fakta peristiwanya, KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser. KUHP WvS juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terhadap dasar falsafah negara Pancasila.
“Ini juga merupakan suatu urgensitas mengapa perlu segera dilahirkan KUHP Nasional,” ujar Benny.
Menurut dia, lahirnya KUHP Nasional juga merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal.
Advertisement