[OPINI] Mengidentifikasi Pemberian Sebagai Gratifikasi

Negara-negara lain banyak memberi peraturan rinci terhadap aksi gratifikasi. Di antaranya Hongkong, Selandia Baru, dan India.

oleh Liputan6 diperbarui 28 Sep 2015, 19:07 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2015, 19:07 WIB
Hendri Satrio
Hendri Satrio

Liputan6.com, Jakarta - Saat itu di Kampus UGM Yogyakarta 9 Desember 2014, Presiden Joko Widodo dan Ketua KPK Abraham Samad berfoto bersama. Sebetulnya foto bersama saat peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia itu adalah hal biasa dalam perayaan yang dihadiri kepala negara.

Namun yang istimewa adalah momen foto itu juga menghadirkan gitar coklat tua yang konon pernah dimiliki oleh salah satu personel grup band ternama asal Amerika Serikat, Metallica.

Cerita gitar coklat tua itu memang mengundang reaksi publik sekaligus membuat kata "gratifikasi" jadi tren pesan kunci komunikasi saat itu. Gitar coklat bernama Robert Trujillo itu merupakan kepunyaan Pesiden Jokowi.

Dia mendapatkannya dari personel Metalicca, yang sengaja memberikannya sebagai hadiah kepada Jokowi yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Namun awal Mei 2013, atas perintah Jokowi Gitar itu diserahkan staf Balaikota DKI Jakarta ke KPK. "Saya tidak mau gara-gara gitar jadi masalah," kata Jokowi saat itu.

Banyak cerita dugaan gratifikasi bermunculan setelah drama gitar Metallica ini. Salah satu yang cukup menghebohkan adalah cerita iPod Shuffle yang menjadi kenang-kenangan bagi tamu undangan pada resepsi pernikahan anak seorang pejabat Mahkamah Agung.

Baru-baru ini juga muncul dugaan gratifikasi yang diterima para pimpinan DPR untuk melaksanakan perjalanan haji dari Kerajaan Arab Saudi. Pro-kontra tentang hal ini, apakah masuk ke dalam gratifikasi kembali muncul. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto berharap, rakyat tidak mempermasalahkan hal ini dengan dalih ini adalah undangan.

Memang menggolongkan hal yang termasuk dan bukan termasuk gratifikasi tidak semudah menjelaskan dan mengucapkan definisi gratifikasi. Semua pemberian kerap digolongkan sebagai gratifikasi. Padahal bisa ini hanya pemberian cuma-cuma atau boleh dapat gratisan atau biar mirip kita tambahkan kata "isasi" jadi gratisanisasi.

Bila kita menelaah situs www.KPK.go.id, akan ditemukan secara gamblang dan terang-benderang penjelasan bahkan simulasi tentang gratifikasi. Khusus tentang haji malah banyak penjelasannya. Bahkan termasuk dalam simulasi yang dianggap sebagai gratifikasi.

Pada situs tersebut pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 tahun 2001, bahwa: Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.

Situs resmi KPK itu juga menjelaskan, bagaimana cara mengidentifikasi gratifikasi yang dilarang (ilegal). Salah satunya adalah memberikan pertanyaan reflektif kepada diri sendiri, seperti apakah terdapat hubungan relasi yang bersifat strategis?

Artinya terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial dan budaya yang Anda miliki akibat posisi Anda saat ini. Contoh-contoh kasus gratifikasi juga tertera gamblang di situs ini, termasuk pemberian biaya atau ongkos naik haji.

Bila merujuk pada penjelasan KPK di situs resminya, yang menyebutkan tentang fungsi kontrol yang berakibat pada pelarangan gratifikasi, bisa jadi isu undangan haji dari Raja Arab Saudi kepada pimpinan DPR termasuk gratifikasi yang dilarang.

Namun, memang ada baiknya kita mendengarkan penjelasan dari pimpinan DPR saat tiba di Tanah Air, termasuk benar atau tidaknya undangan tersebut dan siapa yang membiayai.

Sekali lagi peran Majelis Kehormatan Dewan (MKD) diuji. Belum selesai dengan isu Donald Trump, pimpinan DPR kembali menghadirkan pekerjaan rumah bagi MKD.

Ini pekerjaan besar bagi MKD, bukan saja dituntut untuk transparan serta mampu menyelesaikan kasus yang menjerat anggota dewan, namun MKD bisa menghadapi tuntutan dari masyarakat untuk dibubarkan bila mandul dalam menyelesaikan kasus-kasus penting yang menjadi perhatian masyarakat.

Pimpinan DPR pun menghadapi tantangan yang tidak ringan bila terbukti ada pelanggaran. Bukan tidak mungkin ada kocok ulang pimpinan DPR.

Kembali ke gratifikasi, kasus gratifikasi bukan hanya menyandung pejabat di Indonesia, salah satu wakil walikota di Tiongkok sampai meminta suaka kepada Amerika Serikat, karena diburu KPK Tiongkok.

Negara-negara lain juga banyak memberi peraturan rinci terhadap aksi gratifikasi. Hongkong memberi batasan gratifikasi yang boleh diterima maksimal US$ 386. Sementara Selandia Baru memberi batasan hingga US$ 415. India hanya memperbolehkan hingga US$ 88,9 dan Afrika Selatan boleh hingga US$ 40 saja.

Pegawai Negeri, pejabat di Lembaga Tertinggi Negara, Lembaga Tinggi Negara atau pejabat lain yang tercantum pada UU No 28 Tahun 1999, memang diharuskan menolak segala pemberian yang berpotensi gratifikasi.

Lalu, apakah tidak boleh sama sekali menerima pemberian selama menjadi pejabat? Mudah saja menjawab pertanyaan ini. Bila mau menerima, ya berhenti saja jadi pejabat. Sebab selama menjadi pejabat, gratisanisasi pun bisa jadi disangka gratifikasi.

Aturan tentang gratifikasi ini sebaiknya dikomunikasikan terus menerus oleh negara. Sebab jangan sampai ketakutan terhadap gratifikasi membuat pembangunan jadi terhambat. Biasanya bila ada yang terhambat, kemudian muncul peraturan untuk melonggarkan aturan selanjutnya agar hambatan  berkurang dan sedikit lancar. (Sun)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya