[OPINI] Teruskan Reshuffle Kabinet

Teruskan reshuffle hingga mencapai titik optimal antara kompetensi pembantu-pembantunya dan bargainning dengan partai-partai pendukung.

oleh Liputan6 diperbarui 19 Okt 2015, 19:00 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2015, 19:00 WIB
Saiful Mujani
Saiful Mujani

Liputan6.com, Jakarta - Pada 20 Oktober 2015, persis setahun Joko Widodo secara resmi menjadi presiden. Dalam setahun kepemimpinannya, secara umum belum terlihat langkah yang meyakinkan publik dalam dua masalah paling strategis: pembangunan ekonomi dan penegakan hukum.

Secara umum, ekonomi masih mandek atau bahkan melambat, dan penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, memburuk dengan terjadinya pelemahan KPK.

Sumber utamanya adalah kesalahan awal ketika mengangkat menteri-menterinya. Jokowi lebih tunduk pada desakan partai, sementara partai tidak mengajukan putra-putri terbaik yang dimiliki negeri ini untuk bidang masing-masing.

Untuk ekonomi, menko pertama yang diangkat bukan yang terbaik di bidangnya. Demikian juga untuk Menko Polhukam dan Menko Kesra. Sofyan Djalil diangkat lebih karena bagian dari bargaining Jokowi dengan Wapres Jusuf Kalla. Bukan karena Sofyan orang yang paling pas di posisi itu.

Ini terbukti selama enam bulan pertama kepemimpinan di bidang ini, ia kurang mampu meyakinkan pasar, ekonomi lambat bergerak, dan akhirnya Jokowi harus menggantinya dengan seorang ekonom yang lebih berpengalaman di bidangnya, Darmin Nasution.

Dalam sebulan terakhir, ada harapan ekonomi membaik. Pasar menyambut secara lebih positif. Figur yang dipercaya pasar mutlak untuk posisi senior tersebut. Tanya para pelaku utama ekonomi di negeri ini, siapa yang mereka percayai kalau Jokowi punya keterbatasan untuk menilai.

Lebih fatal adalah pengangkatan Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Menko Polhukam. Kalau tanya pada ahli dan pelaku polhukam yang berpengalaman, saya yakin tak ada orang yang setuju dengan posisi Tedjo tersebut. Ia tidak dianggap sebagai jenderal cemerlang di lingkungan TNI. Ia menjadi menko karena desakan Nasdem.

Dalam konteks pemerintahan sekarang, menko ini sangat strategis terutama dalam konteks penegakan hukum, dan lebih khusus menekan tingkat korupsi yang merupakan amanat Konstitusi.

Di bawah Menko Tedjo, koordinasi antara lembaga yang terkait dengan pemberantasan korupsi, terutama antara Kapolri dan KPK, saya nilai berada pada titik paling negatif sepanjang sejarah KPK.

Terkait dengan Polhukam, adalah kelambanan dan kesalahan Jokowi memberikan peluang pada Budi Gunawan menjadi Kapolri. Ia bukan polisi populer untuk pemberantasan korupsi. Reaksi publik terhadap akan diangkatnya Budi menjadi Kapolri, menunjukkan kesalahan dan kelambatan Jokowi tersebut.

Akhirnya ini menjadi sumber konflik antara Polri dan KPK, beserta masyarakat yang peduli dengan pemberantasan korupsi.

Terkait dengan Polhukam juga adalah pengangkatan politikus Nasdem sebagai Jaksa Agung. Di bawah kepemimpinannya, kita tidak melihat apa yang telah diperbuat untuk masalah yang paling ditunggu publik, yakni percepatan pemberantasan korupsi.

Kita khawatir, Kejaksaan lebih melayani partai pengusungnya, bukan melayani kepentingan publik secara umum.

Harus juga saya katakan, pengangkatan Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan, juga bukan keputusan terbaik yang dibuat Jokowi. Jenderal ini sudah terlalu senior, dan tidak dianggap sebagai jenderal yang punya visi untuk modernisasi TNI. Dia diangkat lebih karena desakan partai politik.

Demikian juga pengangkatan Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Sutiyoso sudah terlalu senior untuk jabatan itu. Ia diangkat karena ketua partai yang mengusung Jokowi jadi presiden.

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) juga bukan putri terbaik bangsa. Puan menjadi menko hanya karena ia putri Megawati, partai utama pengusung Jokowi. Selama ini Puan sebagai politikus di DPR, tidak pernah saya dengar apa yang sudah dilakukannya.

Mungkin saya kurang mengikuti, dan saya yakin kebanyakan rakyat Indonesia juga tidak tahu apa yang telah diperbuatnya untuk publik.

Reshuffle Pertama

Jokowi pada enam bulan pertama, saya lihat tak berdaya menghadapi keinginan partai yang kurang mencerminkan keinginan publik secara luas. Namun Jokowi punya orang dekat yang saya nilai kompeten untuk menjadi pembantu presiden, yakni Luhut Pandjaitan. Luhut ini yang sesungguhnya orang Jokowi, dan pengangkatannya tidak mencederai kriteria kompetensi.

Pengangkatan Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan yang kerjanya setara dengan menteri senior, menunjukkan sesungguhnya Jokowi bisa mengangkat orang yang tepat. Kesalahannya mengangkat Tedjo kemudian dibayar dengan menempatkan Luhut sebagai Menko Polhukam, menggantikan Tedjo. Di bawah Luhut, saya melihat Polhukam relatif lebih terkendali.

Jokowi juga mampu melawan nafsu buruk partai atau nafsu sempit politikus ketika mengangkat Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian. Dalam waktu relatif singkat, Darmin mengeluarkan tiga kebijakan untuk menanggulangi lambatnya ekonomi bergerak. Tentu banyak faktor, namun kepemimpinan Darmin juga tidak boleh dinafikan menguatnya rupiah dan optimisme pasar dalam sebulan terakhir ini.

Cuma yang agak mengherankan adalah pengangkatan Rizal Ramli sebagai Menko Maritim. Pertama itu bukan bidangnya, dan Rizal selama ini dinilai kurang bersahabat dengan pasar. Namun Rizal tampaknya bisa diandalkan untuk menjadi "buldozer" pihak-pihak yang dinilai kurang sejalan dengan program-program ekonomi Jokowi.

Melihat langkah-langkah Jokowi dalam kuartal ketiga tersebut, saya masih optimis bahwa pemerintahan ini bisa membawa Indonesia tidak mundur. Ekonomi diharapkan dapat bergerak, setidaknya mencapai pertumbuhan sedikit di atas rata-rata yang telah dicapai 5 tahun pemerintahan Presiden SBY sebelumnya, 5,98 persen.

Dalam kondisi ekonomi global yang sulit, tumbuh rata-rata 6,5 persen saja dalam lima tahun di bawah Presiden Jokowi sudah cukup bagus. Diharapkan penegakan hukum juga semakin kuat, terutama pemberantasan korupsi. Ini dapat dilihat bila KPK tidak banyak diganggu, polisi dan kejaksaan dipimpin oleh yang bervisi sama dengan KPK.

Jangan menunggu gagal dulu baru reshuffle (perombakan). Jokowi harus lebih antisipatif melihat persoalan prioritas ke depan. Teruskan reshuffle hingga mencapai titik optimal antara kompetensi pembantu-pembantunya dan bargaining dengan partai-partai pendukungnya, terutama di DPR. Bila harapan itu tercapai, Jokowi bisa kembali dipilih rakyat. (Sun/Yus)*

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya