Liputan6.com, Jakarta - Jika orang berharap pada upacara kebesaran, mereka akan kecewa. Kalau yang ditunggu adalah diplomasi basa-basi tingkat tinggi, mereka akan kecewa juga.
Kalau penghormatan diterjemahkan dengan besarnya bendera, lebarnya karpet merah, dan tingginya pangkat pejabat yang menjemput, mereka akan terus bertanya, "kok Presiden saya kurang dihormati?"
Semua upacara penjemputan berlangsung sederhana, cepat, efisien, dan fungsional. Dan Presiden Jokowi adalah presiden yang sederhana, cepat, efisien, dan fungsional.
Pada suatu kesempatan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Presiden Jokowi dijemput oleh pemimpinnya, disetiri sendiri, bicara hanya berdua, dan diajak ke tempat jamuan makan kenegaraan, di restoran Jepang. Bukan di private room pula. Presiden kita happy saja.
Pada kesempatan lain, saya ikut rangkaian kegiatan kunjungan kerja menyusuri Jawa bagian barat sampai Sumatera. Para menteri tidak dibawa seluruhnya dari satu lokasi ke lokasi lain, melainkan diminta bergiliran mendampingi tergantung urusannya.
Menteri yang sudah selesai urusannya, diminta kembali ke Jakarta. Menteri yang hanya berurusan di satu titik, diminta menyusul tanpa harus "repot" mengikuti seluruh rangkaian acara. Perjalanan Presiden selalu dengan rombongan "ramping", efisien, dan seperlunya.
Baca Juga
Saat kunjungan ke Amerika Serikat akhir Oktober lalu, jika yang diharapkan adalah diskusi mendalam pimpinan kedua negara, kunjungan ini sukses besar. Semua aspek strategis dibicarakan dengan hangat dan terbuka. Investasi, ekonomi, energi bersih, perubahan iklim, terorisme, demokrasi, hingga urusan kesehatan rakyat.
Jika penghormatan diterjemahkan dengan saling respek, maka kehadiran Presiden Jokowi di Amerika Serikat menuai respek amat besar. Hal-hal yang sensitif dan Pemerintah RI meminta tidak disentuh, Pemerintah AS mengikutinya.
Sebagai contoh soal kontrak Freeport dan kasus Bioremediasi Chevron, tidak ada pembicaraan itu sama sekali di semua sesi pertemuan, baik dengan pemerintah maupun pelaku bisnis.
Respek juga terlihat ketika selesai pembicaraan resmi kedua pemimpin negara, Presiden Obama mengajak Presiden Jokowi keliling Gedung Putih. Bahkan diajak singgah ke area housing tempat tinggal keluarga Obama. Sesuatu yang amat sangat jarang dilakukan Presiden Obama untuk tamu negaranya.
Bahkan yang semula protokol menata acara pelepasan di ruang oval, Obama secara spontan mengubah rencana mengantarkan Presiden Jokowi dan seluruh delegasi ke beranda White House melewati koridor pribadinya yang biasanya tidak dilewati tamu-tamu. Koridor pribadi adalah jalan penghubung antara rumah tinggal dengan kantor Obama di White House.
Yang terpenting, jika orang berharap pada hasil nyata kunjungan ini, mereka seharusnya menghargai angka-angka ini. Ada 14 Business Deal ditandatangani, termasuk 11 bidang energi.
Investasi US$ 3,5 miliar disepakati. Total US$ 17 miliar transaksi bisnis ditandatangani. Ada 250 lebih pemimpin bisnis Amerika, terutama investor yang sudah sangat lama berada di Indonesia, hadir dalam gala dinner yang hangat.
150 Pemimpin bisnis hadir dalam bisnis summit. Tak kurang dari 15 pertemuan "padat berisi" dilakukan oleh Presiden dan delegasinya.
Di San Fransisco, meski Presiden memutuskan akan kembali lebih cepat, dikirim empat menteri untuk melanjutkan kunjungan kerjanya. Sejumlah business deal di bidang digital ekonomi dikomandani Pak Rudiantara terus akan dijalankan, dan akan membawa Republik Indonesia to the next step dalam bidang ekonomi digital.
Presiden Jokowi adalah Presiden sederhana, cepat, efisien, dan fungsional. Hasil nyata yang memberi manfaat bagi rakyat lebih bermakna dari pada upacara kebesaran yang memabukkan, tapi kosong esensi.
Dalam salah satu pidato singkat di sebuah gala dinner di AS, dengan manis Presiden mengapresiasi karya-karya Steve Jobs yang amat user friendly dan penuh pesan simplicity.
Di ujung pidato, Presiden menutup: "Kesederhanaan adalah refleksi dari kecerdasan. Hanya orang cerdas seperti Steve Jobs yang mampu membuat hal rumit menjadi sederhana." (Sun/Yus)