Skandal Facebook, Apa yang Harus Diantisipasi Pemerintah?

Facebook seharusnya selalu mereview aplikasi-aplikasi yang mengakses informasi pengguna, apakah data pengguna tidak disalahgunakan sesuai izin awal.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Mar 2018, 12:29 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2018, 12:29 WIB
Opini, Yose Rizal
Yose Rizal, CEO sekaligus Founder MediaWave. (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Kebocoran puluhan juta data penggguna Facebook membuat perusahaan teknologi pemilik aplikasi WhatsApp dan Instagram tersebut mengalami krisis. Skandal ini menjadi salah satu yang terbesar, bahkan terparah, yang pernah dialami raksasa media sosial tersebut.

Cambridge Analytica dilaporkan terlibat dalam skandal kebocoran data itu. Firma yang pernah bekerja dengan tim kampanye Donald Trump saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 itu dituding menggunakan jutaan data pengguna Facebook untuk membuat sebuah software, yang bisa memprediksi dan mempengaruhi pemilihan suara.

Kebocoran data pribadi pengguna Facebook tentu sangat mungkin terjadi di Indonesia. Data pribadi pengguna di Tanah Air yang tersimpan di Facebook juga rentan digunakan untuk kepentingan politik, mengingat tahun depan akan ada pemilihan presiden.

Seperti diketahui, Facebook membuka kerja sama dengan pengembang-pengembang untuk mengakses informasi pengguna dengan tujuan yang telah disepakati antara keduanya. Misalnya, pengembang membuat aplikasi kuis.

Saat pengguna hendak mengikuti kuis itu, sebenarnya mereka meminta akses atas data-data di Facebook. Namun, kebanyakan orang tidak sadar apa saja yang diakses oleh pengembang aplikasi tersebut. Apakah hal itu berarti ilegal? Tidak juga. Sebab pengguna memberikan izin untuk mengakses data miliknya.

Untuk kasus kebocoran data Facebook yang kini ramai diberitakan, yang terjadi sebenarnya adalah Cambridge Analytica menyalahgunakan peruntukan data Facebook.

Cambridge Analytica mengatakan kepada Facebook, data-data tersebut digunakan untuk keperluan penelitian, tetapi kenyataannya justru dipakai untuk kampanye politik.

Jadi sebenarnya data pengguna bisa diakses banyak pihak. Pada dasarnya media sosial bukanlah media yang bersifat pribadi, sebab informasi yang ada di sana bisa dilihat banyak orang. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki data yang sifatnya pribadi, sebaiknya tidak dibagikan ke media sosial.

Jadi, ini bukan hanya kewajiban Facebook, tetapi juga pengguna yang harus bijak saat membagikan informasi pribadi serta saat memberikan akses ke data-datanya. Akses pada data itu sendiri ada di tangan pengguna.

 

Harus Ada Aturan Jelas

Facebook
Facebook (Kay Nietfeld/dpa via AP)

Pentingnya Ketegasan Pemerintah

Dalam hal ini pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat agar mereka sebagai pengguna media sosial sadar apa yang diberikan ke platform media sosial.

Hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan upaya masif membersihkan media sosial dari hoax alias berita bohong.

Bahkan, jika memungkinkan pemerintah perlu menerapkan denda sebagaimana yang dilakukan oleh Jerman dalam upaya menangani hoax. Memang sudah ada di kebijakan komunitas Facebook, Twitter, YouTube dan lain-lain bahwa tidak boleh menebar kebencian, tetapi kenyataannya masih banyak konten negatif dan itu dampaknya sangat besar.

Pemerintah pun harus tegas menerapkan peraturan kepada media sosial seperti Facebook dan lain-lain.

Misalnya di Jerman itu sudah diloloskan undang-undang yang intinya mengatur: jika Facebook tidak menghapus satu hoax dalam kurun waktu 24 jam, Facebook akan didenda 500 ribu euro atau sekitar Rp 7 miliar. Pemerintah Indonesia sangat perlu menerapkan peraturan itu.

Selain sebagai media sosial, sebenarnya Facebook juga media yang memungkinkan orang membagikan berita dan beragam informasi. Facebook sebagai platform ketika digunakan untuk membagikan informasi itu artinya sudah menjadi media.

Karena itu, harusnya peraturan yang diberlakukan ke media diterapkan juga ke Facebook. Misalnya, tidak boleh menyebar hoax dan mereka wajib untuk membersihkannya.

Dalam hal ini jangan hanya pengguna yang diminta untuk tidak boleh membagikan hoax atau konten negatif, tetapi Facebook dan media sosial lain juga diwajibkan untuk menurunkan atau menghapus hoax tersebut ketika ada konten yang menebar kebencian dan potensi pada perpecahan.

Namun, sayangnya, mereka tidak menyensornya dengan ketat, dan itu dampaknya sangat besar.

Seharusnya Facebook selalu mereview aplikasi-aplikasi yang mengakses informasi pengguna. Apakah data pengguna tidak disalahgunakan sesuai izin awal.

Facebook juga harus mereview informasi pengguna yang dapat diakses oleh aplikasi, apakah relevan dengan peruntukan dari aplikasi tersebut.

 

Facebook
Facebook (AP Photo/Ben Margot, File)

Selain itu, seharusnya pemerintah tidak hanya membuat aturan yang mengharuskan over the top (OTT) platform asing untuk membuka kantor perwakilan, kantor bisnis, atau hal lain berkaitan kebijakan pajak di Indonesia, tetapi juga mengatur konten-konten yang beredar serta sanksi-sanksinya.

Platfom media sosial seperti Facebook, Twitter, dan lain-lain sepatutnya tidak sekadar menunggu laporan dari pemerintah terkait konten hoax dan konten negatif lainnya.

Mereka harus mengikuti local culture, karena tiap negara normanya berbeda-beda. Jangan sampai mereka mendapat keuntungan di Indonesia tetapi tidak menjaga situasi kondusif, sebab banyak konflik bermula dari berita hoax di media sosial.

Saat ini polarisasi masyarakat sangat besar, terutama ketika ada pesta politik, seperti pemilihan presiden. Untuk itu, diperlukan ketegasan pemerintah.

Sebenarnya aturannya sudah ada, misal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun yang perlu ditekankan adalah ketegasan dari pemerintah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya