OPINI: Impeachment Donald Trump, 'Jebakan Batman' Demokrat untuk Partai Republik

Donald Trump mengukir sejarah dengan menjadi presiden AS pertama yang mengalami dua kali pemakzulan (impeachment).

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Jan 2021, 11:36 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2021, 10:13 WIB
Pengamat politik Amerika Serikat, Didin Nasirudin. (Dok. Pribadi)
Pengamat politik Amerika Serikat, Didin Nasirudin. (Dok. Pribadi)

Oleh Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - "Pertemuan ini memberi pesan kepada mereka (para anggota Kongres Partai Republik): Ini bukan lagi Partai Republik mereka; ini adalah Partai Republik Donald Trump; ini adalah Partai Republik yang akan mengusung kebijakan 'America first'," pekik Donald Trump Jr. (Don Junior), anak tertua mantan Presiden AS Donald Trump ketika berbicara dengan berapi-api di hadapan ribuan pendukung Trump di Capitol Hill, tidak lama sebelum massa menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari lalu, seperti dilaporkan The Independent.

Peristiwa berdarah yang terjadi hari itu telah mencoreng reputasi presiden AS ke-45. Tapi Trump tetap populer di kalangan pemilih Partai Republik. Menurut data Gallup Presidential Approval Ratings berdasarkan poling pada 4-15 Januari 2021, 80% pemilih Partai Republik puas dengan kinerja Trump. Poling Gallup serupa untuk presiden George W. Bush pada dua minggu sebelum pelantikan Presiden Barack Obama menunjukkan, hanya 75% pemilih Partai Republik puas dengan kinerja presiden AS ke-43 ini. Padahal Trump bisa disebut meninggalkan ‘warisan’ masalah yang jauh lebih kompleks di akhir jabatan dibandingkan Bush.

Penguasaan Trump terhadap Republican National Committee (RNC), komite politik tertinggi Partai Republik, juga tidak luntur. Orang kepercayaan Trump, Ronna McDaniel, terpilih Kembali menjadi Ketua RNC; orang kepercayaan Don Junior, Thomas Hicks Jr., menjadi wakil ketuanya. Dengan mengontrol RNC, Trump akan memiliki akses terhadap aset-aset partai terpenting, yakni data pemilih dan daftar donatur partai, yang sangat vital jika Trump ingin mencalonkan diri kembali di 2024.

Impeachment Kedua Trump Masih Impeachment oleh Partai Demokrat

Seperti diketahui, pada 13 Januari lalu Trump mengukir sejarah dengan menjadi presiden AS pertama yang mengalami dua kali pemakzulan (impeachment). Kali ini dengan dakwaan ‘memicu pemberontakan’ atau ‘incite insurrection’. Berbeda dengan pemakzulan pertama pada Desember 2019 lalu, dimana tidak satupun anggota DPR Partai Republik mendukung, pemakzulan kali ini didukung oleh 10 anggota DPR partai konservatif tersebut.

Kendati demikian, beberapa poling yang mengukur tingkat dukungan terhadap kedua pemakzulan dan pelengseran (removal) Trump menunjukkan hasil yang kurang lebih sama untuk pemilih Partai Republik. Berdasarkan berbagai poling yang dikumpulkan FiveThirtyEight, pada pemakzulan pertama, 47.6% publik AS setuju pelengseran Trump, tapi hanya 9% pendukung Partai Republik setuju. Pada pemakzulan kedua, 52.5% publik sepakat Trump harus dilengserkan, dan hanya 13.6% pendukung Partai Republik yang sepakat.

Jadi tidak berlebihan jika kedua pemakzulan Trump bisa disebut sebagai pemakzulan oleh Partai Demokrat karena 95.7% (212) anggota DPR yang pendukung pemakzulan adalah dari Partai Demokrat, dan hanya 4.3% sisanya anggota DPR Partai Republik. Pemakzulan ini juga didukung oleh lebih dari 85% pemilih Partai Demokrat.

Bandingkan dengan pelengseran Richard Nixon, presiden AS ke-37, yang juga presiden dari Partai Republik, pada tahun 1974. Menurut data Gallup, pelengseran Nixon didukung oleh 58% publik Amerika Serikat dan 31% pendukung Partai Republik. Dukungan hampir 1/3 pemilih Partai Republik membuat 16 hingga 18 Senator Partai Republik dikabarkan siap bergabung dengan Senator Partai Demokrat untuk melengserkan Nixon. Kenyataan pahit ini memaksa Nixon mengundurkan diri sebelum sidang pemakzulan di DPR dimulai.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Pelengseran Trump di Senat 'Absurd' dengan Peluang Sukses Sangat Tipis

FOTO: Donald Trump Kembali Dimakzulkan DPR Amerika Serikat
Ketua DPR Nancy Pelosi menandatangani dokumen pemakzulan Presiden Donald Trump di Capitol Hill, Washington, Amerika Serikat, Rabu (13/1/2021). Ada 10 anggota Partai Republik yang ikut mendukung pemakzulan Donald Trump. (AP Photo/Alex Brandon)

Ketua DPR AS Nancy Pelosi sudah mengumumkan akan mengirim dokumen pasal pemakzulan Trump ke Senat pada 25 Januari. Tapi Senat Partai Republik meminta penundaan proses sidang dakwaan (indictment) di Senat hingga 8 Februari dengan alasan memberi waktu bagi Trump untuk menyiapkan tim pengacara.

Sidang dakwaan untuk ‘pelengseran’ Trump terkesan absurd. Bagaimana tidak, meski Trump sudah dimakzulkan di DPR, tapi dengan dilantiknya Biden menjadi presiden ke-45, Trump secara resmi menjadi ‘mantan presiden’ alias sudah lengser dari jabatan presiden. Para pendukung setia Trump menggunakan alasan ini untuk meminta Senator Chuck Schumer, Senate Majority Leader baru, untuk membatalkan sidang dakwaan bagi mantan presiden Trump.

Lindsay Graham, Senator Partai Republik asal South Carolina yang juga fans berat Trump, dalam surat resminya yang dikirim ke Schumer menyebut sidang dakwaan untuk Trump di Senat setelah ia meninggalkan Gedung Putih adalah "inkonstitusional.” Graham meminta Senat untuk menggelar voting guna membatalkan sidang dakwaan tersebut, seperti dilansir BusinessInsider.

Tapi para pakar konstitusi AS berpendapat sidang dakwaan pelengseran Trump tersebut sah dan diatur oleh konstitusi. Profesor Stephen I. Vladeck dari University of Texas School of Law, misalnya, menyatakan dalam opininya di harian The New York Times bahwa setelah proses pemakzulan di DPR, presiden AS yang melakukan pelanggaran berupa tindak pengkhianatan (treason), penyuapan (bribery), atau kejahatan dan perbuatan tidak baik lain yang serius (other high crimes and misdemeanors) akan melewati dua tahap persidangan di Senat, yang tidak batal karena masa jabatan presiden berakhir.

Tahap pertama adalah sidang harus memutuskan apakah presiden yang dimakzulkan layak dilengserkan. Tahap kedua sidang harus memutuskan apakah presiden yang dilengserkan layak untuk didiskualifikasi dari kesempatan memegang jabatan publik lagi— dengan konsekuensi Trump tidak bisa lagi maju di pilpres 2024.

Sidang untuk diskualifikasi Trump dari jabatan publik relatif mudah karena hanya membutuhkan simple majority alias didukung 51 dan 100 suara di Senat. Artinya, Demokrat hanya perlu dukungan Senator Mitt Romney atau Ben Sasse, masing-masing Senator Partai Republik dari Utah dan Nebraska yang selama ini rajin mengkritik Trump, untuk mencegah Trump berkuasa lagi.

Yang lebih berat adalah sidang untuk pelengseran, karena harus didukung oleh 67 Senator. Dengan Partai Demokrat hanya menguasai 50 kursi Senat, mereka paling tidak harus mendapat dukungan 17 Senator Partai Republik yang mau ‘mbalelo’ dari garis partai.

Hal ini sangatlah sulit karena 19 Senator Partai Republik harus mengikuti pemilu ulang di midterm election 2022, termasuk Senator Lisa Murkowski (Alaska) yang sering berseberangan dengan Trump, serta para Senator moderat seperti Senator Chuck Grassley (Iowa), Richard Burr (North Carolina) dan Rob Portman (Ohio). Sementara para Senator yang jelas-jelas berseberangan seperti Romney dan Sasse, atau McConnel yang dikabarkan setuju Trump dilengserkan, tidak pernah secara terbuka menyatakan sikap mereka.

Ini bisa diartikan bahwa peluang Trump dilengserkan dengan dukungan 2/3 suara di Senat dan kemudian didiskualifikasi dari kesempatan mencalonkan diri lagi di 2024 sangat tipis.

 

Pemakzulan dan Pelengseran Trump Sebagai 'Jebakan Batman' untuk Partai Republik

Ketua DPR AS Robek Naskah Pidato Kenegaraan Donald Trump
Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi (kanan) merobek naskah pidato kenegaraan Presiden Donald Trump dalam Kongres di Capitol Hill, Washington, Selasa (4/2/2020). Pelosi merobek naskah pidato kenegaraan State of the Union (SOTU) usai Trump berpidato. (AP Photo/Patrick Semansky)

Era kepresiden Trump mungkin bisa dikatakan sebagai era politik paling partisan sepanjang sejarah AS. Sebagai presiden, Trump kerap mengabaikan atau enggan membantu negara-negara bagian yang masuk kategori ‘Blue States’, seperti negara bagian California dalam kasus kebakaran hutan atau New York dalam kasus distribusi APD untuk COVID-19.

Di Kongres pun, perseteruan kubu Partai Republik dan Demokrat semakin meruncing di era Trump. “Someone Please Tell Joe Biden That Bipartisanship Is Dead,” demikian bunyi headline artikel Matt Ford di The New Republik pada Juni 2019 lalu, ketika capres Partai Demokrat ini mengungkapkan keyakinannya bisa mengembalikan kompromi (bipartisanship) di DPR dan Senat AS.

Menurut histori voting para Senator terhadap kebijakan Trump yang dikumpulkan FiveThirtyEight, Senator Partai Republik mendukung Trump dalam 80% - 100% voting terkait kebijakannya di sidang Senat. Ada beberapa Senator dengan voting record di bawah 80% karena sejumlah alasan. Misalnya Senator Susan Collins karena mewakili Maine, swing state yang condong ke Demokrat, sehingga tidak bisa terus mendukung Trump; juga Senator Mitt Romney & Mike Lee, karena mewakili Utah yang mayoritas penduduknya adalah penganut Mormon; dan Senator Rand Paul dari Kentucky yang beraliran politik Libertarian.

Sebaliknya, Senator Partai Demokrat mendukung Trump dalam kurang dari 30% voting terkait kebijakannya. Beberapa perkecualian adalah Senator John Tester dari Montana & Senator Joe Manchin dari West Virginia karena keduanya mewakili red states; dan Senator Kyrsten Sinema dari Arizona yang merupakan swing state yang condong ke Republik.

Tingkat partisanship di DPR secara umum lebih meruncing, meskipun faktor distrik anggota DPR terkait (misalnya mewakili ‘blue district’ di ‘red state’ atau sebaliknya) serta masa jabatan yang hanya 2 tahun membuat analisa voting record di DPR cukup rumit. Tapi fakta bahwa tidak ada satupun anggota DPR Partai Republik yang mendukung pemakzulan Trump di 2019, dan 2/3 mendukung penolakan pengesahan kemenangan Joe Biden oleh Kongres pada awal Januari lalu mendukung klaim Don Junior “It is now Trump’s Republican Party.”

Ketika Nancy Pelosi dkk. mulai mengusulkan pemakzulan Trump, para anggota Kongres Partai Demokrat ramai-ramai mengajukan keberatan. Jim Jordan, anggota DPR dari Ohio yang termasuk dalam 140 anggota DPR penolak pengesahan kemenangan Biden, menyatakan ini adalah saat untuk ‘pemulihan’ (dari trauma penyerbuan Gedung Capitol) dan meminta Partai Demokrat membiarkan Trump menyelesaikan masa jabatannya, seperti dikutip The Washington Post. Senator Ted Cruz dari Texas, yang bersama rekannya Senator Josh Howley dari Missouri menjadi aktor utama gerakan penolakan pengesahan kemenangan Biden, menyerukan persatuan. “Kita harus bersatu dan melupakan kemarahan dan perbedaan di antara kita,” demikian cuitan Cruz yang dicibir oleh banyak anggota Kongres dan pendukung Partai Demokrat.

Ketika gagasan Partai Demokrat memakzulkan Trump untuk kedua kalinya menjadi kenyataan, DPR Partai Republik yang kompak mulai retak. Dimulai dengan mblaelo-nya 10 anggota DPR Partai Republik yang mendukung pemakzulan Trump --Rep. Liz Cheney (Wyoming), Rep. John Katko (New York), Rep. Adam Kinzinger (Illinois), Rep. Fred Upton (Michigan), Rep. Jaime Herrera Beutler (Washington State), Rep. Dan Newhouse (Washington State), Rep. Peter Meijer (Michigan), Rep. Anthony Gonzalez (Ohio), Rep. David Valadao (California), dan Rep. Tom Rice (South Carolina).

Pembelotan itu kontan menuai kecaman dan memicu perpecahan di kalangan anggota DPR Partai Republik. Banyak yang meminta Cheney dicopot dari jabatannya sebagai House Republican Conference Chair, urutan ketiga tertinggi dalam hirarki kepemimpinan Partai Republik. “Satu dari 10 orang itu tidak bisa menjadi pemimpin kita,” kata Rep. Matt Gaetz dari Florida kepada Sean Hannity di Fox News, seraya menyerukan perubahan kepemimpinan partai.

Sebaliknya, House Minority Leader, Rep. Kevin McCarthy mengatakan dalam wawancara dengan Greta Van Susteren di Gray TV bahwa dia masih mendukung Cheney, meski mengaku khawatir dengan sepak terjangnya yang mengkonsultasikan tindakan kepada dirinya selaku pemimpin Partai Republik di DPR, seperti dilansir CNN.

Tidak lama lagi, bola panas pemakzulan Trump akan berada di tangan Senat Partai Republik. Jika sidang dakwaan Trump jadi digelar, perpecahan yang terjadi di DPR Partai Republik bisa merembet ke Senat. Tidak heran jika McConnel meminta agar sidang pelengseran ini diundur ke 8 Februari.

Graham dkk juga dikabarkan akan mati-matian mempertanyakan legalitas sidang pelengseran Trump karena sudah tidak lagi menjabat. Tapi Partai Demokrat sebagai penguasa baru di Senat bisa terus maju tanpa bisa dihalangi.

Bagi Partai Demokrat, proses pemakzulan dan pelengseran Trump ibarat ‘jebakan Batman’ yang bisa membuat Partai Republik terjebak dalam dilema yang menghambat upaya mereka merebut mayoritas di DPR dan Senat pada midterm elections 2022.

Melengserkan Trump bisa berarti melepaskan tali kekang bertuliskan ‘Trump’s Republican Party’ dari tubuh partai konservatif ini. Tapi ini juga berarti hilangnya kira-kira 1/3 suara konstituen Partai Republik, baik karena menyeberang ke ‘Patriot Party,’ yang bisa jadi akan didirikan Trump jika tersingkir dari Partai Republik, ataupun karena mereka memilih golput sebagai hukuman bagi para politisi Partai Republik yang tega mengkhianati presiden idola mereka.

Tapi membiarkan Trump tetap bercokol dan mendominasi Partai Republik juga berarti tertutupnya jalan bagi tokoh-tokoh tokoh partai yang berpotensi seperti Gubernur Maryland Larry Hogan, mantan Dubes AS untuk PBB Nikki Haley, atau lainnya untuk menjadi penantang dan mengalahkan Biden atau capres Partai Demokrat lain di 2024—jika Biden memutuskan hanya berkuasa satu periode.

Trump juga bisa menjadi ‘bogeyman’, yang akan meng-energize pemilih Partai Demokrat untuk ramai-ramai datang ke TPS guna mencegah Partai Republik dan Trump berkuasa kembali, seperti yang saya paparkan dalam tulisan opini sebelumnya: Donald Trump Pasca-Gedung Putih, Pedang Bermata 2 yang Bikin Politik AS Tetap Semarak.

Yang jelas, ramalan banyak orang mengenai terjadinya Perang Sipil Kedua jika Trump kalah dan menolak transfer kekuasaan secara damai, nampaknya sudah menjadi kenyataan. Tapi Perang Sipil itu terjadi di dalam tubuh Partai Republik yang sudah menjadi ‘the party of Trump’, bukan di tempat lain!

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya