Liputan6.com, Jakarta - Tak sampai dua puluh orang. Hajatan itu ringkas. Dihelat pada sebuah ruangan kecil. Hanya ada dua sofa. Yang disusul barisan belasan kursi. Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan entah di mana pun, selalu saja dihinggap semangat bergelora ketika orang-orang bernyanyi, air mata para atlet dari setiap laga, bahkan pada setiap bait, juga setiap kesunyian pada jeda, lagu kebangsaan ini selalu merupakan aneka rasa: haru, heroik, dan cinta.
Wanita muda, yang dari rupanya datang dari generasi hari ini, generasi post millennial, yang oleh kita disebut sebagai Gen-Z, yang menjadi palumat dari pojok kiri, seperti sanggup menuntun semua orang di ruangan itu mengembara masuk ke dalam suasana hari kemerdekaan, nyaris 79 tahun silam.
Baca Juga
Seperti pada sekian acara resmi yang sering kita jumpai, sesudah lagu itu, disusul sekian kata sambutan, dan pada hajatan ini lagi-lagi membawa peserta berkelana kepada masa silam, kepada wejangan tokoh yang dalam perjalanan sejarah melawan kebuasan kumpeni bagai botol yang dibuang ke laut, dia akan kembali bersama gelombang, bahkan bergulung bersama tsunami bagi sang musuh.
Advertisement
Dan tokoh itu adalah Tan Malaka. Sosok kontroversial yang berkali-kali diburu Belanda, lama menjadi guru, berjuang, ditangkap, dibuang, lalu kembali. Dia adalah salah satu tokoh yang mengerahkan lautan manusia ke Lapangan Ikada 19 September 1945, demi unjuk gigi kepada serdadu Belanda yang hendak membonceng Sekutu. Tapi oleh sejarawan Asvi Warman Adam, lelaki ini juga dilukiskan sebagai seorang revolusioner yang kesepian.
Kematiannya penuh misteri, tentang penyebabnya. Dia adalah orang pertama yang mengagas bentuk Republik untuk Indonesia dan oleh karena itu dia juga disebut sebagai Bapak Republik, seorang pahlawan nasional tapi makamnya tak kita temukan pada sekian taman makam pahlawan di sekujur negeri ini. Serta, jika kemudian kubur itu ditemukan di Kediri, itu karena proses penelusuran melibatkan begitu banyak ahli forensik - melewati uji deoxyribonucleid acid alias DNA - hingga melibatkan ahli sejarah terkenal Harry Poeze nun jauh dari negeri Belanda.
Jalan pikiran tokoh yang satu ini membentang pada sekian buku, serta dari sekian buku itu Madilog adalah magnum opus, adalah karya agung Tan Malaka. Madilog adalah akronim dari tiga suku kata: materialisme, dialektika, dan logika. Berbeda dari buku-buku lain yang membahas politik dan ekonomi, Madilog membahas ilmu mutlak, sains, biologi, fisika, dan kimia dalam balutan filososif.
Tempat Memuliakan Manusia
Adalah Ibu Suryani Zaini, yang mengajak para peserta ke alam pikiran Madilog dalam hajatan di ruangan sederhana itu. Bahwa pendidikan, katanya, adalah tempat untuk memuliakan manusia. Lalu beliau mencuplik pikiran Tan Malaka, bahwa “Pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.” Sebuah rumusan yang ringkas, tajam, menukik pulang ke dalam perjalanan sejarah, tapi juga punya kesanggupan melompat jauh ke masa depan.
Saya cukup terkejut, sebab hari-hari ini sungguh jarang kita mendengar pikiran dari masa lampau, apalagi pikiran Tan Malaka dalam berbagai forum, ditarik pula ke zaman kini, zaman di mana sekian rupa pekerjaan manusia sudah tergantikan oleh teknologi artificial intelligent (AI), dan pikiran dari masa lalu itu justru datang dari seorang praktisi, bukan wejangan dari akademisi, atau seorang mahaguru dengan gelar yang berbaris. Tapi mari melihat relevansi jalan pikiran itu, dalam dunia yang terus bergerak, ketika masa depan negeri ini kita tumpukan kepada penerus dari generasi seperti gadis di pojok kiri ruangan hajatan itu.
Ibu Yani menggali serta menuangkan relevansi petuah Madilog bagi para peserta di dalam ruangan itu. Mempertajam kecerdasan, kata beliau, sudahlah pasti menjadi tugas kita, oleh karena kehidupan haruslah senantiasa dituntun terang ilmu pengetahuan. Tapi pengetahuan saja mungkin tidak cukup. Dalam dunia yang penuh persaingan, dunia yang memburu, serta generasi baru yang rawan rebahan, kita haruslah merawat serta sekuat keyakinan mendorong anak-anak agar persisten bergerak menuju tujuan.
Ketika memulai tulisan ini, saya mencoba menjelajahi kamus, juga literatur lain, demi mencari pemahaman yang mendekati konteks pidato itu, dari apa yang dilukiskan sebagai “persisten” itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata itu diberi makna “terus-menerus,” kemampuan individu bertindak gigih, kukuh dalam menghadapi kesulitan sekaligus mengatasi, bahkan mungkin keadaan yang membawa kita kepada keputusasaan. Mendidik generasi baru agar melihat rintangan sebagai tantangan, serta kegigihan individu itu adalah cara melewati. Persisten adalah berkanjang. Tekun yang tiada jemu.
Dalam dunia yang serba menuntut dan persisten itu, manusia seringkali terjebak pada hasil belaka. Result oriented. Senggol sana-sini dalam perjalanan. Akhlak seringkali menjadi barang yang mahal. Oleh karena itu tugas kita, kata Ibu Yani, adalah juga menanam nilai. Dari budaya warisan leluhur kita sendiri. Agar akhlak mulia terjaga. Makin tinggi. Dan tugas seperti ini, lanjutnya, memang sungguhlah tidak mudah di tengah zaman ini, masa di mana idealisme menjadi barang yang mahal dan mewah.
Sejenak saya menoleh. Melirik para peserta di ruangan itu. Seisi ruangan seperti tekun menyimak wejangan dari podium itu. Bentangan serta uraian tentang jalan pikiran Tan Malaka ini, rasanya seperti lecutan, bagi para praktisi, juga kalangan akademisi yang hadir di hajatan ini.
Ruangan itu memang dipenuhi para pendidik. Mereka adalah pimpinan dari Akademi Televisi Indonesia (ATVI), milik Yayasan Elang Mahkota Teknologi, yang lebih kita kenal dengan nama singkatannya: EMTEK. Akademi ini sedang dalam perjalanan bertransformasi menjadi Institut Media Digital Emtek (IMDE). Ibu Yani- begitu panggilan sehari-harinya - adalah Ketua Yayasan Indosiar, yang menaungi akademi itu. Kampus ini berlokasi di Jalan Damai, Daan Mogot, Jakarta Barat.
Berdiri semenjak 1998, akademi ini tumbuh dalam lingkungan yang tidak saja memahami laju perubahan kebutuhan manusia, tapi juga memaksimalkan kekuatan teknologi demi melayani kebutuhan itu. Lahir 1983, EMTEK memulai dari layanan komputer pribadi, dan hari ini berbiak menjadi perusahaan modern, terintegrasi, dengan usaha utama: media dan digital, kesehatan, layanan keuangan, serta teknologi dan infrastuktur digital.
Advertisement
Penuh Aroma Optimisme
Dan hajatan di ruangan kecil, di kampus ATVI, beberapa hari lalu itu, adalah acara pelantikan direktur baru, nakhoda baru, orang yang lahir dan tumbuh dalam dunia pendidikan serta riset: Totok Amin Soefijanto. Sosok yang memahami bahwa dunia ini begitu dinamis, dan oleh karena itu, pendidikan tanpa improvement akan membuatnya menjadi menara gading, hidup di ketinggian langit, tidak memijak, lepas pisah, irrelevant dari kebutuhan orang banyak.
Mas Totok, begitu sehari-hari dia disapa - adalah seorang sarjana teknologi pertanian dari Institut Pertanian Bogor. Gelar Master of Arts di bidang Komunikasi/IMC diraih dari Emerson College, dan merengkuh Doctor of Education, Curriculum & Teaching dari Boston University. Jalan pikirannya tentang pendidikan terbentang dalam begitu banyak tulisan di media-media ternama, berbagai buku, dari komunikasi marketing, tentang perlunya improvement itu dalam dunia pendidikan, yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Juri dalam Frans Seda Awards ini meyakini bahwa pada dunia yang berlari, kesanggupan bersaing tumbuh dari persekutuan ilmu pengetahuan dan dunia praktikal. Di situ ilmu berdialektika dengan kenyataan. Menemukan kegunaan. Melihat tantangan dari senyata-nyatanya kebutuhan manusia.
Persis di situlah, kata dia, kekuatan yang dimiliki ATVI. Integrasi teori dan praktik. Di kampus itu, para pengajar adalah himpunan akademisi dan praktisi profesional. Oleh karenanya dia memimpin dengan keyakinan bahwa kampus yang sebentar lagi membuka jenjang S-1 ini, akan melahirkan anak muda yang unggul, berilmu, memiliki wawasan bisnis, dengan akhlak yang kuat.
Akhlak adalah sinonim dari moral. Begitu menurut tesaurus Bahasa Indonesia. Dan moral, kata filsuf Jerman dari masa pencerahan, Immanuel Kant, adalah kesesuaian sikap dengan hukum batiniah. Hukum yang memandu sikap dalam segenap hal yang lahiriah.
Dua pidato dari acara pelantikan itu, tidak saja terasa seperti sedang mendengar kuliah sekian SKS, tapi juga penuh aroma optimisme, terdengar seperti bunyi peluit yang menandai agar seisi ruangan segera berlari. “Saya merasa terhormat,” kata Mas Totok, “Untuk memulai perjalanan baru ini bersama ATVI.” Membangun kolaborasi dengan sekian anak usaha milik EMTEK.
Kampus ini memang tumbuh dalam grup bisnis yang terus melaju, bersama teknologi baru, dengan begitu banyak para ahli. Yang tentu saja bisa melahirkan begitu banyak inspirasi. Bagi anak-anak muda.
Bukankah menurut si jenius Albert Einstein, inspirasi itu akan mudah ditemukan ketika orang yang sangat ahli ada di sekeliling kita? Dan dari hajatan sederhana di Jalan Damai itu, Madilog terdengar bagai sebuah petuah pendidikan yang menginspirasi, ketimbang mungkin sebagai sebuah kegelisahan.
Penulis: Wenseslaus Manggut, Chief Content Officer KapanLagi Youniverse (KLY)