Liputan6.com, Jakarta - Telat mengganti busi memiliki efek yang memengaruhi performa. Beberapa di antaranya adalah mesin tidak stabil, akselerasi turun, susah starter, hingga motor atau mobil seperti haus bensin menjadi pertanda mengapa hal tersebut mesti dilakukan.
Diko Oktaviano, Technical Support PT NGK Busi Indonesia menekankan bahwa prinsip dasarnya adalah kembali menjaga busi tetap pada kemampuannya. Yang, pertama busi menghasilkan percikan listrik dan bukan api. Api pun ada karena terbakar dengan udara yang bercampur.
Advertisement
Baca Juga
"Bagaimana menentukan pembakaran sempurna dan efisien? Tiga komponen utama yang harus dijaga di ruang bakar, good air mixture, good spark, dan good air compression. Nomor satu dan tiga syaratnya ruang bakar harus sehat. Satu lagi adalah busi," kata dia.
Pihak NGK sebagai brand yang berpengalaman pun melakukan uji laboratorium mengenai kapan waktu yang tepat untuk mengganti oli.
"Dua kali ganti oli, satu kali ganti busi. Rata-rata seperti itu. Buat motor 6.000 km, buat mobil 20.000 km," ujarnya. Pasalnya, motor umumnya ganti oli tiap 3.000 km, sedangkan mobil setiap 10.000 km.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Kenapa perhitungannya demikian? Itu adalah titik pertama ketika busi mengalami erosi atau pengurangan dimensi, alias pelebaran jarak. Pelebaran jarak yang dimaksud adalah jarak antara elektroda pusat dan elektroda massa atau ground.
Dia pun menekankan bahwa masa penggantian busi tiap brand mobil bisa berbeda. Sebab, hal ini bergantung pada masing-masing kerja mesin. Untuk batasan 6.000 km di mesin motor reguler dan 20.000 km mesin mobil reguler hanyalah perhitungan rata-rata.
"Kami juga pasang satu busi kami ke berbagai mesin. Kemudian kami buat rata-ratanya. Tapi kalau di ATPM, satu busi kami diuji di mesin yang spesifik. Jadi angka (masa penggantiannya) ya yang dikeluarkan ATPM. Pada saat busi kami dipindahkan ke (mesin kendaraan yang dipasarkan) ATPM lain, hasilnya pasti beda," kata dia.
Sumber: Otosia.com
Advertisement