Dua Cara Pengolahan Limbah Baterai Kendaraan Listrik

Tak hanya pasar global, industri otomotif Indonesia juga tengah mempersiapkan diri untuk untuk menyambut kendaraan ramah lingkungan sebagai alat transportasi umum dan pribadi.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 06 Sep 2019, 19:03 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2019, 19:03 WIB
Mobil listrik
Ilustrasi mobil listrik sedang mengalami pengisian daya baterai di Amsterdam, Belanda. (Sumber Flickr/lhirlimann)

Liputan6.com, Jakarta - Tak hanya pasar global, industri otomotif Indonesia juga tengah mempersiapkan diri untuk untuk menyambut kendaraan listrik sebagai alat transportasi umum dan pribadi.

Hal itu semakin mencuat kala Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo secara resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) terkait mobil listrik.

Tak hanya dari sisi produk, permasalahan limbah baterai kendaraan listrik juga tengah dipikirkan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengaku pihaknya akan menerapkan dua proses untuk mengelola komponen ini.

"Jadi proses daur ulang umumnya ada dua yang umum yaitu proses biometallurgy maupun pro hydro metalurgi," kata Jarot Raharjo, Peneliti Pusat Teknologi Material BPPT di Balai Kartini, Jakarta.

Jarot menjelaskan biometallurgy akan menggunakan furnis atau smelter dengan suhu tinggi. Sedangkan pro hydro metalurgi menggunakan bahan kimiawi untuk memisahkan bahan-bahan yang terdapat pada limbah baterai.

"Proses hydro metalurgi menggunakan kimia tertentu yang dimurnikan dan menghasikkan nikel, CO bahkan lithium carbonate, jadi bisa terpisah-pisah. Bahan-bahan itu yang nantinya kita akan bagi menjadi bahan baku baterai," ujar Jarot.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pengolahan Limbah Baterai di Indonesia

Saat disinggung lebih jauh pengolahan apa yang akan digunakan untuk limbah baterai di Indonesia, Jarot mengaku hydro metalurgi merupakan cara yang saat ini dipikirkan.

"Saat ini yang kita ingin gunakan itu hydro metalurgi sebab biometallurgy ini menggunakan sumber panas yang tinggi. Tapi kedepan kita akan temukan cara lain, karena ini masih lima tahun ke depan. Jadi limbah baterai ini baru lima tahun ke depan. Selama itu kita akan terus mengkaji, karena yang punya otoritas itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," tutur Jarot.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya