Mundur dari BPIP, Benarkah Kini Yudi Latif Lakukan Serangan Balik?

Nama mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif terbawa dalam informasi bohong atau hoax terkait Pilpres 2019.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 01 Sep 2018, 07:46 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2018, 07:46 WIB
Yudi Latif saat Inspirato
Menurut Yudi, pola pikir radikal tumbuh karena masyarakat hanya membaca buku yang disarankan oleh kaum tertentu saja

Liputan6.com, Jakarta - Nama mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif terbawa dalam informasi bohong atau hoax terkait Pilpres 2019. Ada dua hoax yang menurut Yudi telah beredar menyebut-sebut namanya.

"Belakangan ini beredar sirkuler yang menyebutkan nama saya dan tulisan saya dengan framing politik tingkat tinggi," ujar Yudi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/9/2018).

Pertama, ungkapnya, ada sirkuler yang menyebutkan bahwa saya akan menjadi pembicara dalam Road Show GSI (Gerakan Selamatkan Indonesia). "Saya tidak pernah dikontak dan/atau diminta persetujuan panitia untuk kepentingan acara ini. Alhasil, tidak tahu menahu dan tidak bertanggung jawab soal acara ini."

Kedua, sambung Yudi Latif, beredar tulisan yang mengatasnamakannya dengan berbagai versi judul. Antara lain: Jokowi Membawa Arus Besar Anti-Intelektualisme, Analisa Yudi Latief, Puisi Zaman Keraguan, Serangan Balik Yudi Latif, tanpa menyebutkan sumber otentik dan tanggal pemuatan dari tulisan tersebut. Tulisan tersebut juga ada yang merupakan fragmen tulisan dengan tambahan komentar, ada pula versi yang lengkap dengan judul yang sudah diubah.

"Tulisan dengan beragam judul dan versi tersebut sebenarnya bersumber dari tulisan saya berjudul 'Negara Sengkarut Pikir'. Tulisan ini dimuat oleh Harian Kompas, 2 Februari 2015. Itulah satu-satunya media yang saya kirimi artikel tersebut, dan setelah itu tak satupun ada media yang saya kirimi lagi," kata dia.

Ia menyatakan, tulisan tersebut sudah dipublikasikan jauh sebelum musim kampanye dan tidak diproduksi untuk kepentingan serangan dalam kontestasi politik.

"Ada konteks aktualitasnya tersendiri bagi suatu tulisan yang dipublikasikan di koran. Dan kalau dipahami secara dingin dan mendalam, kritik dalam tulisan tersebut tidak hanya diarahkan pada seseorang, melainkan pada berbagai kalangan, dalam suatu nada keprihatinan mengenai tendensi memudarnya kualitas pikir dalam kehidupan publik," ungkap Yudi Latif.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kritik

Kritik semacam itu, jelas dia, merupakan ekspresi reguler dari tanggung jawab intelektual. Nyaris tak ada seorang pun Presiden Indonesia yang lolos dari kritiknya. "Bahkan para calon presiden pun tak luput dari kritik saya. Alhasil, kritik tidak perlu dimaknai sebagai serangan menjatuhkan."

Yudi mengaku tidak keberatan dengan peredaran tulisan tersebut. Yang dikeluhkannya adalah soal etika peredaran tulisan.

Menurutnya, tulisan asli telah mengalami tambahan framing, pemenggalan, komentar, dan perubahan judul; juga tanpa menyebutkan sumber dan tanggal pemuatan tulisan tersebut, yang berpotensi melanggar hak cipta.

"Praktik kurang etis seperti itu berpotensi menjatuhkan reputasi etis penulisnya. Terkesan tulisan tesebut diproduksi penulis sebagai serangan balik setelah mundur dari jabatan politik. Padahal, jabatan politik bukanlah sesuatu yang istimewa, sehingga apapun yang pernah dialami, mundur dari suatu jabatan tidaklah perlu disertai serangan terbuka terhadap mantan atasannya," tegasnya.

"Tapi, dalam kehidupan publik yang mengalami kemunduran etika, tampaknya ada tambahan pekerjaan bagi para pekerja intelektual: kerja klarifikasi," Yudi memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya