Liputan6.com, Jakarta Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Sudirman Said mengatakan, capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno akan memisahkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dengan Kementerian Perumahan Rakyat (PR). Hal itu akan dilakukan jika paslon ini terpilih pada Pilpres 2019.
Sebelumnya, Kementarian PR sempat berdiri secara terpisah dengan Kemanterian PU. Lalu, diera Jokowi lah dua kementerian itu digabung menjadi Kementerian PUPR. Selain itu, Prabowo juga akan memisahkan kembali Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
"Sebenarnya sejak Orde Baru itu Kementerian (Perumahan Rakyat) yang sangat dibutuhkan masyarakat," kata Sudirman di Media Center pemenangan Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya I, Jakarta, Senin (18/2/2019).
Advertisement
Dia menambahkan, sejak jadi Kementerian PUPR, tugas pokok dari perumahan rakyat seperti dilupakan dan mengalami banyak perubahan. Hal itu menurutnya juga diakui oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
"Ketika digabung dengan Kementerian PU yang begitu besar urusannya, perumahan jadi tertinggal. Dan itu sendiri diakui oleh Menteri PUPR ketika kita mendapat informasi dari sidang di Komisi V memang rumah ketinggalan, air ketinggalan," ungkapnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Janji Prabowo
Jika nantinya Prabowo-Sandi dipercayai oleh masyarakat dalam memimpin Indonesia, mereka berjanji akan melakukan pembenahan dan menghidupkan kembali fungsi dari perumahan rakyat dan lainnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
"Jadi kita ingin kembali kepada urusan yang berdasar pada rakyat. Jadi itu akan kita hidupkan kembali. Iya (akan banyak berubah) begitu, itu kan memang kita punya ruang untuk restrukturisasi ada beberapa (Kementerian) yang akan diubah sesuai undang-undang," ungkap Sudirman Said.
Sementara itu, gagasan Prabowo memisahkan dua kementerian, yaitu Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dinilai tepat dan punya argumentasi kuat.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) Ismail Rumadan menilai, selama penggabungan kedua kementerian, persoalan dalam bidang lingkungan hidup banyak yang tidak tuntas.
Sebut saja dalam kasus kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan PT Freeport Indonesia. Hasil audit BPK yang dipublikasi pada Maret 2018 menunjukkan adanya kerusakan ekosistem akibat limbah PT Freeport Indonesia senilai Rp185 triliun.
Menurut dia, penyelesaian kasus ini sampai sekarang tidak transparan dan terkesan ditutup-tutupi.
"Demikian juga dalam beberapa kasus kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan, tidak ada sanksi tegas terhadap para pelaku,” ujar Ismail.
Permasalahan mendasar yang sangat lemah dari penggabungan kedua kementerian tersebut salah satunya adalah kurangnya independensi dari Kementrian Lingkungan Hidup untuk melakukan fungsi pengawasannya, sekaligus memberikan sanksi secara tegas kepada pelaku kerusakan lingkungan.
"Ini akibat Kementerian Lingkungan Hidup ditempatkan menjadi salah satu unit setara eselon I di bawah Kementerian Kehutanan, yang keduanya memiliki tugas dan fungsi berbeda secara substansial,” kata dia.
Gagasan itu, menurut ismail diyakini untuk mengembalikan fungsi pengawasan yang dilakukan KLH, agar benar-benar independen dalam melakukan pengawasan dan tindakan hukum terhadap para pelaku kerusakan terhadap lingkungan hidup.
"Gagasan dan ide ini perlu diapresiasi sebagai gagasan brilian yang sangat tepat untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup saat ini,” kata dia.
Reporter: Nur Habibie
Sumber: Merdeka
Advertisement