Mahfud MD: Pilkada Lalui Proses Eksperimen yang Berliku

Mahfud menceritakan bahwa pilkada langsung seperti yang sekarang ini dinikmati masyarakat sebenarnya melewati proses yang panjang dan berliku.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 15 Okt 2020, 07:22 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2020, 07:21 WIB
Menko Polhukam Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui proses eksperimentasi yang selalu berubah dengan segala dinamikanya.

Hal itu disampaikan Mahfud saat menjadi "keynote speech" Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) 1 yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berlangsung secara daring, Rabu, 14 Oktober 2020.

Mahfud menceritakan bahwa pilkada langsung seperti yang sekarang ini dinikmati masyarakat sebenarnya melewati proses yang panjang dan berliku.

Menurut dia, pernah ada satu masa saat tata hukum Indonesia belum tertib sehingga pelaksanaan pilkada berbeda-beda bergantung tempat dan waktu sehingga muncul UU Pemilihan Kediri, UU Pemilihan Klaten, dan UU Pemilihan Yogyakarta.

Semasa pemerintahan Bung Karno pernah ada UU Nomor 1/1957 yang isinya memisahkan kepala daerah dengan kepala wilayah.

"Kepala daerah adalah pengemban otonomi daerah dan dipilih langsung oleh rakyat. Sama seperti sekarang. Namun, sebelum UU itu diimplementasikan, terjadi pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru," katanya seperti ikutip dari Antara.

Pada masa Orde Baru, kata dia, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) meski dalam praktiknya yang menentukan sosok kepala daerah adalah ABRI, birokrasi, dan Golkar.

"Ada stabilitas, tetapi dianggap tidak demokratis karena penentunya itu-itu saja, yakni ABG: ABRI, birokrasi, dan Golkar. Meskipun, formal-nya lewat DPRD. Itu menjadi sistem politik dan ambruk saat reformasi 1998," papar dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Pilkada Era Reformasi

Memasuki Orde Reformasi, kata dia, DPRD memiliki kekuasaan yang luas, yakni berhak memilih kepala daerah secara final, serta berhak mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah jika dianggap tidak bertanggung jawab.

Dalam praktiknya, kata dia, ternyata sistem semacam itu melahirkan praktik politik uang karena partai bisa melakukan jual beli kursi terhadap calon kepala daerah.

Sistem pilkada kemudian diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang ini, kata dia, meskipun dalam praktiknya tetap ada plus dan minusnya.

Sisi negatifnya, Mahfud mencontohkan banyak yang menunggu "serangan fajar" dari paslon, adanya penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya.

Akan tetapi, kata dia, banyak juga sisi positifnya, seperti partisipasi rakyat dalam pemilihan semakin bagus dan rakyat memiliki hak sepenuhnya sebagai pemilih.

Kemudian, ideologi tidak lagi tersekat-sekat, seandainya terjadi polarisasi kekuasaan di pusat antara koalisi dan oposisi tidak akan berimbas langsung ke daerah dengan pola yang sama.

Karena itu, Mahfud mengajak seluruh pihak untuk terus menyempurnakan sistem pelaksanaan pilkada agar semakin bagus dan berkualitas dalam jangka panjang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya