Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra tak sepakat dengan wacana penerapan pemilihan elektronik atau e-voting pada pemilu selanjutnya. Menurutnya, jika hal itu dilakukan, maka secara sosiologis kurang baik bagi masyarakat.
"Ini pendapat pribadi ya, bukan KPU. Kalau kita melakukan itu, nanti masyarakat tidak lagi berkumpul. Padahal kan pemilu kita secara sosiologis ajang silaturahmi ya, betul enggak sih? Apalagi di luar negeri, banyak ketemu kawan berdiskusi. Dalam perhitungannya ada 'hore', itu kan menarik," kata Ilham saat di temui di gedung KPU, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2019).
Ia juga mempertanyakan terkait kesiapan infrastruktur jika e-voting diterapkan. Sebab, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum merata.
Advertisement
"Kemudian masyarakat juga kaget dengan sistem seperti itu," ujar Ilham.
Selain itu, Ilham juga menyoroti ihwal bagaimana mekanismenya penggunaan sistem e-voting nanti. Apakah dijalankan secara serentak, atau mengaplikasikannya dalam pemilu lokal.
"Kemudian jika infrastruktur itu hang (error)Â apa yang kita lakukan? Kalau di Filipina kan ada struknya, jadi kalau sistemnya hang masih ada bukti struknya, kalau kita mau kayak gimana," tanya Ilham.
Ilham sendiri memandang permasalahan utamanya bukanlah pada saat pemilihan itu sendiri, melainkan pada tahap rekapitulasi yang menurutnya terlalu panjang.
"Kalau saya si gitu ya, kalau saya pribadi persoalan kita bukan pemungutan, perhitungan suara di TPS, tapi rekapitulasi menurut saya ya. Terlalu panjang, dari kecamatan, kabupaten," jelasnya.
Â
Â
Sistem E-Voting Masih Dikaji
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo masih mengkaji soal penerapan pemilihan elektronik atau e-voting dalam pemilu yang akan datang.
"Iya kita menunggu hasil Pileg, Pilpres ini selesai, bersama dengan DPR terpilih, KPU, Bawaslu, dan elemen demokrasi mari kita duduk bersama mengevaluasi. Apakah perlu menggunakan e-voting," ucap Tjahjo Kumolo, di Denpasar, Bali, Senin 13 Mei 2019.
Selain itu, terkait jadwal kampanye dari catatannya waktu satu bulan sudah cukup. Jika dibanding saat ini yang berlangsung selama tujuh bulan.
"Kemudian yang kedua, apakah jadwal kampanye begitu panjang (selama) 7 bulan (atau) diperpendek," imbuh dia.
Kemudian, juga akan dievaluasi apakah Pileg dan Pilpres digabung atau dipisah, Pilkada sendiri dan Pilpres sendiri.
"Keserentakkan kan tidak bisa diukur dalam jam dan satu hari yang sama. Bisa dalam satu minggu atau bulan yang sama. Bisa atau dalam satu bulan yang sama. Mari sama-sama duduk kita nggak bisa ngotot masing-masing," ujar Tjahjo.
Advertisement