Liputan6.com, Jakarta - Baru saja disahkan, namun Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) sudah menuai banyak protes. Setelah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sejumlah komponen masyarakat perumahan rakyat juga mempertimbangkan untuk mengajukan ujimateri (judicial review) undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Zulfi Syarif Koto menegaskan lembaganya siap mengajukan ujimateri terhadap UU Tapera kalau ternyata memang tidak sesuai dengan prinsip awal pembentukan Tapera untuk memenuhi penyediaan rumah rakyat. Apalagi kalau dana yang dihimpun berpotensi dijadikan ajang investasi di luar kepentingan perumahan rakyat.
“The HUD Institute siap ajukan judicial review UU Tapera ke MK. Kami akan kaji dulu pasal-pasal mana yang rawan diselewengkan. Sampai sekarang kami belum mendapat salinan UU Tapera yang disahkan, jadi akan dipelajari dulu,” tegas Zulfi kepada Liputan6.com, Rabu (24/2/2016).
Advertisement
Baca Juga
Sesuai dengan surat The HUD Institute yang disampaikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, lembaga yang berisi pakar-pakar perumahan dan permukiman itu sudah menyatakan penolakan jika dana Tapera dikelola manajer investasi.
Selain itu dalam Komite Tapera sebagai pengawas pengelolaan dana Tapera harus ada perwakilan pekerja, sekaligus menolak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) duduk di dalam komite pengawas tersebut.
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) Muhammad Joni mengatakan OJK turun derajatnya jika mau duduk dalam Komite Tapera, karena mandat independensi melekat dengan OJK.
Berdasarkan UU Tapera Pasal 54 ayat 1 yang diperoleh Liputan6.com, disebutkan Komite Tapera beranggotakan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman; menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan; menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; serta Komisioner Otoritas Jasa Keuangan; dan seorang dari unsur profesional yang memahami bidang perumahan dan kawasan permukiman.
“Kalau kita lihat yang akan masuk sebagai Komite Tapera hampir semua diambilalih eksekutif. OJK juga kalau masuk di situ sudah menjadi eksekutif. Ini mirip pola dewan moneter di zaman orde baru, yang didominasi eksekutif,” ujar Joni.
Dia memberi contoh UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang memberi mandat kepada wakil pemilik dana (pekerja dan pemberi kerja) untuk duduk dalam komite pengawas. Joni pun mempertanyakan mengapa UU Tapera justru memasukkan semua unsur wakil pemerintah.
Indonesia Property Watch (IPW) juga memberi peringatan keras kepada pemerintah agar mengawasi dana besar yang dihimpun dalam Tapera agar tidak diselewengkan dan menjadi sumber untuk dibagi-bagi oleh pihak-pihak tertentu.
“Kami meminta secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasi di lapangan. Jangan semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun terselip niatan untuk menipu rakyat,” tegas Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghanda.
Pada 2012, Mahkamah Konstitusi terpaksa membatalkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP), pasal 22 ayat 3 yang mengatur soal minimal luas rumah sederhana yang diajukan kelompok masyarakat perumahan rakyat yang dikomandoi Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), The HUD Instutite, MKI dan IPW. (Nal/Zul)