Berhenti Merokok Bisa Cepat Punya Rumah

Baru-baru ini, wacana tentang kenaikan harga rokok cukup santer terdengar dan menjadi viral di kalangan masyarakat.

oleh Kantrimaharani diperbarui 22 Agu 2016, 20:34 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2016, 20:34 WIB
Harga rokok naik
Baru-baru ini, wacana tentang kenaikan harga rokok cukup santer terdengar dan menjadi viral di kalangan masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini, wacana tentang kenaikan harga rokok cukup santer terdengar dan menjadi viral di kalangan masyarakat.

Meski belum ada keterangan resmi soal kebijakan ini, opini yang terbangun sudah bercabang menjadi pro dan kontra. Tidak hanya bagi perokok aktif, melainkan juga di kalangan perokok pasif.

Dalam wacana tersebut disebutkan bahwa harga rokok akan dibanderol sebesar Rp50.000, dimana harga semula berkisar Rp16.000 – Rp23.000 per bungkus.

Syamsudin, salah satu perokok aktif mengatakan wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp50.000 dirasa cukup memberatkan. Pasalnya, dengan pendapatan per bulan dari status yang hanya seorang pensiunan, tentu terlalu tinggi.

“Saya tergolong addict dengan rokok. Selama ini menghabiskan rokok per hari sebanyak satu bungkus. Bila harga rokok naik dari Rp23.000 menjadi Rp50.000, berarti saya harus menyediakan uang dua kali lipat, yakni sebesar Rp1,5 juta per bulan,” ujar Syamsudin seperti dikutip dari laman Rumah.com.

 

Sebagai seorang pensiunan pegawai negeri, penghasilan hanya sebesar gaji pokok yakni Rp4,1 juta. Jadi tidak heran bila Syamsudin menilai tidak sanggup untuk mengalokasikan budget sebesar Rp1,5 juta per bulan.

Namun, di tengah banyak yang kontra, ada juga yang yang terang-terangan mendukung adanya wacana kenaikan harga rokok.

Selain karena alasan kesehatan, konsumsi rokok sebenarnya merupakan kebutuhan tersier.

Kaukabus Syarqiyah, perencana keuangan mengungkatkan sudut pandang yang cukup obyektif untuk mengatakan bahwa ada kerugian yang dihadapi oleh konsumen yang memaksakan diri untuk tetap merokok.

“Konsumen rokok itu terbagi menjadi dua tipe. Pertama adalah tipe konsumen yang menempatakan rokok sebagai kebutuhan primer. Kedua, ada juga konsumen yangmenempatkan rokok sebagai alat sosial. Artinya, hanya sesekali merokok demi kebutuhan sosial,” ujar Kikau.

Ia juga menambahkan, sayangnya konsumen rokok di Indonesia masih banyak berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan, sampai kepada anak-anak.

“Nah, apabila ini menjerat kalangan masyarakat menengah, dengan penghasilan yang pas-pasan, dan sudah kecanduan, ini bisa membahayakan. Akhirnya, bisa menggeser kebutuhan yang lebih primer, seperti sandang, pangan, maupun papan,” tambahnya.

Tidak hanya untuk yang sudah kecanduan saja, Kikau juga mengatakan bagi konsumen yang hanya sekedar memposisikan rokok sebagai alat sosial, juga cukup rugi bila masih tetap memaksa membeli rokok dengan harga yang tinggi.

“Jadi, bijaklah untuk melihat kebutuhan Anda yang membutuhkan uang. Jika jadi, kenaikan lebih dari 200% tersebut cukup tinggi. Dari pada beli rokok, ya lebih baik memenuhi tabungan untuk kebutuhan lain, salah satunya membeli rumah,” katanya.

Tips komitmen beli rumah

Berbicara keinginan untuk membeli rumah, respon masyarakat pun cukup beragam. Ada yang memandang penting, ada yang biasa saja, ada yang merasa tidak terlalu penting.

“Bagi konsumen yang merasa penting, mereka akan rela menyisakan uang baik untuk main saving (tabungan utama) maupun additional saving (tabungan tambahan),” jelasnya.

“Bahkan baik besar atau kecilnya uang yang mereka sisihkan tidak terlalu penting. Komitmen mereka, ada uang di saku mau Rp20 ribu, Rp50 ribu, atau lebih pada satu hari pasti akan disisihkan,” ia menambahkan.

Mengingat harga rumah yang kerap mengalami kenaikan harga, sejatinya menuntut komitmen menyisikan uang sebagai prioritas utama, sehingga penting untuk menyisihkan pada kas main saving setiap bulannya dan additional saving.

“Main saving bisa diambil dari penghasilan perbulan, additional saving bisa diambil dari uang per hari dan bonus atau THR,” tambah Kikau.

Kikau menyarankan untuk membuat tabungan pribadi yang bertujuan untuk menyimpan seluruh sisa pengeluaran hari ini. Tujuannya, agar sisa uang tidak ‘lari’ kepada hal-hal konsumtif yang tidak penting.

Bagi kalangan ekonomi kelas menengah dan mengenah bawah, mengalihkan uang sebesar Rp1,5 juta per bulan dari beli rokok untuk dijadikan additional saving untuk membeli rumah terbilang besar.

“Sebab, dengan gaji sebesar Rp3 juta, harga tersebut sudah melampaui patokan kewajaran untuk menabung sebesar 10%. Jadi, dengan sebungkus rokok Anda bisa menabung untuk memenuhi kebutuhan primer khususnya untuk kebutuhan papan,” ujar Kikau.

Feature picture: pixabay.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya