Liputan6.com, Semarang - Seorang ibu asal Kabupaten Wonogiri, Rina (41), membuat pengakuan mengejutkan di hadapan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Salah satu pengungsi eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) itu mengaku bingung dengan label kesesatan yang disematkan kepadanya hingga terusir dari Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Â
"Bagi kami, Ahmad Musadeq itu guru spiritual. Beliau mengajarkan hal-hal untuk hidup baik," kata Rina kepada Ganjar saat itu, Senin, 25 Januari 2016.
Kepada Liputan6.com, Rina kemudian bercerita perihal hidupnya saat tinggal di Mempawah. Ia merasa lebih berguna bagi sesama karena ilmunya bisa diamalkan.
"Ada ilmu amaliah dan amal ilmiah di sana," ucap Rina.
Ia mengaku belajar agama sejak kecil. Bahkan hingga lulus kuliah dan berkeluarga, ia terus belajar ilmu agama. Namun ketika ada kegelisahan di hatinya, ia tidak juga menemukan jawabannya.
Baca Juga
"Berurusan dengan apa saja, membutuhkan materi atau uang. Bukan hanya fasilitas, tapi semua sendi," ujar perempuan lulusan S1 universitas ternama di Yogyakarta itu.
Saat kegelisahannya memuncak, ada ajakan untuk hidup lebih tenang dengan bertani. Namun karena lahan di Jawa semakin menyempit, Rina setuju untuk bermigrasi ke Kalimantan.
"Bisa dikatakan guru spiritual kami sebagai juru selamat, khususnya bagi saya pribadi. Karena menyelamatkan dari hidup yang tak bermanfaat menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain," tutur Rina.
Nama Ahmad Musadeq kembali bergaung seiring mencuatnya kasus Gafatar. Musadeq adalah mantan pimpinan Al-qiyadah Al Islamiyah yang dinyatakan sebagai aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2006 silam.
Musadeq akhirnya divonis 2 tahun penjara dalam kasus penistaan agama. Namun, fakta itu tak menyurutkan kekaguman Rina.
"Ajarannya memang bagus," Rina memuji.
Kedepankan Komunikasi
Terkait pengakuan Rina, psikolog Probowatie Tjondronegoro menyatakan tiap-tiap orang memiliki motivasi berbeda walau simpul penyebabnya sama dalam kasus Gafatar. Dalam ilmu kejiwaan, setiap manusia memiliki sisi baik, yakni ingin bermanfaat bagi orang lain dengan ilmu dan keterampilannya.
"Mereka yang kemudian mengikuti ajaran itu dipastikan sedang berada dalam puncak titik galau dan kecewa. Bisa dengan dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakatnya, atau bahkan negaranya. Mereka merasa tidak berguna dan mendapat harapan untuk hidup lebih berguna," kata Probowatie kepada Liputan6.com.
Probowatie menyebutkan kekecewaan itu diperburuk dengan adanya komunikasi yang tersumbat. Bisa saja komunikasi dengan suami/istrinya, lingkungannya, masyarakatnya. Ketika komunikasi tersumbat, masuklah sang pemberi harapan.
"Celakanya, harapan itu tak disertai dengan pengetahuan dan informasi yang cukup tahapan mewujudkan harapan dan fakta di lapangannya," tutur Probowatie.
Mengenai juru selamat atau mesias, Probowatie melihat sebagai mispersepsi saja. Menurut dia, sosok guru spiritual bagi para pengikutnya bisa saja dianggap sebagai juru selamat. Namun hal itu hanya secara pribadi.
"Seorang miskin yang akan berobat akan menganggap orang yang menyelamatkan hidupnya dari kelaparan sebagai juru selamat. Ini persepsi personal saja," kata Probowatie.
Dalam kasus ini, Probowatie melihat bahwa kelompok Gafatar setidaknya mampu menjawab kegelisahan pengikutnya. Setidaknya untuk sementara, sambil terus dijanjikan harapan-harapan baru.
"Menjadi runyam ketika persepsi personal ini diadili dengan persepsi umum. Sehingga, anggapan juru selamat itu dimaknai sebagai penyesatan dan hendak merebut dominasi ikon agama," kata Probowatie.
Mengenai kemungkinan pendampingan untuk rehabilitasi, Probowatie melihat hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan personal karena motivasi setiap pengikut juga berbeda.
"Di saat itulah, keran komunikasi dibuka, sumbatan informasi dijawab dengan realisasi. Yang kecewa dengan penegakan hukum, ya dijawab dengan ketegasan hukum. Yang kecewa dengan kemiskinan, dijawab dengan kesejahteraan dan seterusnya," kata dia.
Probowatie mengingatkan agar pemerintah lebih berhati-hati menyikapi fenomena sosial ini. Komunikasi dua arah harus semakin rajin dilakukan dengan efisien agar tak ada kekecewaan lagi.
Gafatar hanya sebuah contoh meledaknya kekecewaan personal, yang terakumulasi dan dijawab oleh organisasi, padahal semestinya dijawab oleh negara.
Advertisement