Liputan6.com, Jakarta
Sepak terjang Kartini sebagai pembaharu kemajuan perempuan Indonesia tak terbantahkan lagi. Kartini dan dua adiknya, Roekmini dan Kardinah, memang bukan perempuan Jawa biasa. Mereka mendapat pendidikan formal dan banyak membaca surat kabar serta buku-buku.
Keleluasaan itu didapat berkat ayah mereka yang penyayang dan berpikiran progresif, Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat. Sang Bupati Jepara ini dikenal sebagai pendobrak adat.
Jalan bagi Kartini menempuh pendidikan di Belanda sempat terbuka setelah perkenalannya dengan Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. JH Abendanon sempat menjanjikan beasiswa bagi Kartini dan saudara-saudaranya untuk belajar ke Belanda. Namun sayang, halangan datang dari dalam keraton dan kaum politikus di Belanda.
Di lain pihak, hubungan Kartini dengan kedua adiknya teramat dekat. Mereka amat kompak. Sahabat Kartini, Marie Ovink Soer, istri asisten Residen Jepara, menjuluki mereka Tiga Saudara. Namun, Kartini punya nama sendiri bagi trio ini, yakni Het Klaverbet alias Daun Semanggi.
Sebagai bersaudara yang tak terpaut jauh usianya, mereka membangun kedekatan dengan membicarakan cita-cita dan hobi. Dalam dunia pingitan, mereka membaca, menggambar, melukis, membatik, bermain piano, belajar bahasa Belanda, dan memasak.
Ya, memasak adalah dunia yang lekat dalam kehidupan Kartini dan kedua adiknya. Mereka bahkan menciptakan legenda di dapur. Kakak-beradik itu rajin mencatat dan mempraktekkan aneka resep. Makanan kegemaran RA Kartini dan keluarga Sosroningrat umumnya banyak terpengaruh oleh gaya kuliner Cina, Belanda, Arab, selain Jawa Tengah. Karena letak Jepara di pinggir pantai, maka sudah barang tentu hasil laut banyak digunakan dalam masakan keluarga ini.
Baca Juga
Dari mana Kartini, Kardinah, dan Roekmini belajar memasak. Rupanya sumbernya adalah pengatur rumah tangga Raden Mas Sosroningrat, Ngasirah. Dari perempuan baik hati inilah ketiga saudari itu mempelajari keajaiban rasa dan kuliner. Mereka rajin menunggui Ngasirah di pendopo belakang dan belajar tentang seni memasak.
Suryatini N. Ganie, putri RA Soelastri, salah seorang saudara Kartini, menuturkan kesaksiannya ketika ia mengunjungi rumah Roekmini pada 1937. Seperti dikutip dari buku Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara, Suryantini mengatakan Roekmini dan Kartini menyukai kue-kue yang legit tetapi tidak terlalu manis. Contohnya adalah kue sus.
Menurut Suryatini, salah satu makanan kreasi dapur keluarga Sosroningrat yang paling sering dibuat oleh Soelastri maupun Roekmini adalah Gebakken broot met bayam (roti panggang dengan bayam). Caranya, roti sisa sehari sebelumnya dipanggang dan diolesi dengan sedikit mentega, dibubuhi setup bayam yang dibumbui bawang merah, sedikit garam, gula dan notemuskaat atau pala bubuk.
Resep-resep keluarga Sosroningrat masih terpelihara dengan baik lantaran dibukukan oleh Kardinah setelah Kartini meninggal. RA Kardinah yang menikah dengan Bupati Tegal dan kemudian bernama Raden Ayu Adipati Aria Kardinah Reksanegara mendirikan sekolah khusus keterampilan perempuan di Tegal bernama Wisma Pranawa—sesuai dengan cita-cita kakak-kakaknya, Kartini dan Roekmini. Untuk keperluan pengajaran, resep-resep keluarga yang sebagian besar masih beraksara Jawa disusun menjadi beberapa buku dan diberi judul Lajang Panoentoen bab Olah-olah.
Menyelami resep-resep dalam buku itu, kita akan tercengang menyadari betapa melimpah dan beragamnya menu keluarga Sosroningrat. Ini tak lepas dari pengaruh Jepara sebagai kota pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal asing, utamanya dari Timur Tengah, India dan Cina.
Pengaruh Timur Tengah terdapat dalam salah satu resep yang dinamai djangan Arab, yang berarti hidangan berkuah cara Arab dan kelan kari daging yang memakai bumbu kari asal India. Pengaruh Belanda juga ada, misalnya dalam hidangan bestik lengkap dengan puree kentang dan sayurannya.
Yang perlu dicatat adalah keluarga Sosroningrat nyatanya memiliki tradisi minum teh, mengikuti kebiasaan orang Belanda di Indonesia tempo dulu.
Ragam makanan dan kebiasaan ini menunjukkan bahwa keluarga Sosroningrat lekas dan cepat menerima perubahan dari luar. Meski demikian, nyatanya cita-cita Kartini kandas di tangan ayahnya sendiri.
Kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar, seorang Yahudi-Belanda dan sosialis yang teguh, pada 12 November 1903 Kartini bercerita perihal keputusannya menikah dengan Bupati Rembang, yang tak pernah dilihatnya dan sudah memiliki istri serta selir.
Padahal Kartini sungguh-sungguh membenci poligami karena ia lahir dari keluarga yang melanggengkan poligami. Ibunya adalah selir ayahnya dan Kartini diasuh oleh istri sah ayahnya.
Hanya karena rasa cinta pada ayahnya yang terus mendapatkan cibiran masyarakat karena membiarkan putrinya terlalu bebas, Kartini mengalah. Ia menikah pada usia 24 tahun dan wafat pada 17 September 1904 tak lama sesudah melahirkan putranya. Perjuangannya dilanjutkan Kardinah. Dan tujuh tahun sesudah kematiannya, terbitlah Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Advertisement