Langka, Anggrek Gunung Slamet Rawan Tangan Usil

Maraknya pencurian tanaman khas Gunung Slamet ini mengancam kelestarian keragaman hayati.

oleh Aris Andrianto diperbarui 25 Apr 2016, 22:03 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2016, 22:03 WIB
Anggrek Gunung Slamet
Anggrek Gunung Slamet langka dan indah

Liputan6.com, Purwokerto - Sejumlah tanaman khas Gunung Slamet saat ini terancam sulit ditemukan di habitat aslinya. Maraknya pencurian tanaman endemik seperti anggrek gunung ini mengancam kelestarian keragaman hayati di Banyumas, Jawa Tengah.

Banyaknya tangan usil yang ingin memiliki beberapa jenis tanaman khas alam di sekitar lereng Gunung Slamet semakin memprihatinkan. Beberapa waktu lalu, petugas lapangan Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Gunung Slamet Barat.

Petugas Resor Kesatuan Pemangku Hutan (RKPH) Gunung Slamet Barat, Subejo mengatakan, upaya menjarah tananam langsung dari alam, yakni anggrek epifit (Mycaranthes latifolia) dan anggrek tanah (Calanthe pulchra) digagalkan warga yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kemutug Lor Baturraden.

"Kejadiannya kalau tidak salah sekitar Februari 2016. Saat itu yang menangkap kebetulan warga yang berada di sekitar sini. Terus terang kami terbantu dengan keberadaan warga yang ikut mengawasi keanekaragaman hayati di sini," ucap Subejo di Purwokerto, Senin (25/4/2016).

Menurut Subejo, persoalan personel masih menjadi kendala dalam menjaga keanekaragaman hayati yang ada di kawasan Baturraden. Ia mengemukakan, saat ini hanya ada lima penjaga dengan luasan area mencapai 4 ribu hektare lahan.

"Karena itu, kami akan meningkatkan komunikasi dengan warga yang selalu membantu kami. Selain itu, kesadaran warga yang tinggi menjaga keanekaragaman hayati di wilayah hutan Baturraden ini cukup tinggi," Subejo menjelaskan.

Mbah Rono tetap kalem meski Slamet berdentum.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, tanaman asli alam seperti anggrek hingga kantung semar yang dicuri kebanyakan berada di kawasan hutan lindung atau hutan alam.

Subejo memaparkan, jalur yang dilalui para pencuri tanaman tersebut, biasanya melalui hutan produksi terlebih dahulu karena letak hutan lindung yang berada di sekitar satu kilometer dari batas kedua hutan tersebut. Kemudian untuk jalur kembali, para pencuri tersebut melewati kawasan Baturraden, Dusun Kalipagu dan Kebun Raya Baturraden.

"Kalau ada yang mencurigakan, pasti akan dimintai keterangan dari pengamanan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan juga Jagabaya yang berada di sekitar Baturraden," ujar salah satu mandor di BKPH Gunung Slamet Barat, Suwandi.

Ia mengemukakan, kejadian tersebut merupakan kesekian kalinya. Namun, diakui Suwandi, sejak ada pengamanan swakarsa dari masyarakat sekitar hutan pencurian tanaman tersebut terus berkurang. Dari data yang ada luas lahan hutan di BKPH Gunung Slamet Barat mencapai 14.786 hektare.

Dari total lahan tersebut, khusus hutan lindung 8.712 hektare. Sisanya 6.073 ha untuk kawasan hutan produksi. Hingga saat ini, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan paguyuban Jagabaya dan sejumlah LMDH sekitar.

Pencuri Luar Daerah

Komandan Jagabaya Baturraden Warjito mengemukakan, selama sebulan terakhir, mereka memergoki tiga kelompok yang membawa turun tanaman anggrek dan penjalin cacing. Menurut dia, kebanyakan pelaku berasal dari Jawa Barat yang mengaku dari Bandung, Garut dan Tasikmalaya.

Dari pengakuan kelompok tersebut, harga tanaman anggrek di Bandung, misalnya, bisa mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. "Padahal di Baturaden berkisar Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu. Kalau penjalin cacing dijual di Baturraden sekitar Rp 200 ribu, tetapi di Bandung bisa mencapai Rp 1 juta," Warjito mengungkapkan.

Ia menambahkan, beberapa jenis tanaman seperti anggrek, penjalin cacing, dan kantung semar juga dijual untuk diekspor ke luar negeri.

Kepala Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Timur, Wawan Triwibowo mengemukakan, fenomena pengambilan tanaman anggrek langsung dari alam tersebut akan sangat mengganggu keanekaragaman hayati jika terjadi terus-menerus.

"Ini menjadi masukan kami untuk terus waspada dan melakukan patroli. Karena kalau yang diambil sampai berkarung-karung tentunya akan mengganggu keanekaragaman hayati di Gunung Slamet," ujar Wawan.

Tanaman endemik Gunung Slamet di kawasan Baturraden, Purwokerto, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Aris Andrianto)

Agar persoalan ini tidak lagi terulang, Wawan berjanji akan mempelajarinya dari sisi hukum untuk menjerat pelaku di kemudian hari.

"Apakah anggrek tersebut masuk dalam flora yang dilindungi? Kalau iya, kami akan ambil langkah-langkah hukum. Jika tidak, maka tidak boleh dieksploitasi lebih banyak," kata Wawan.

Sejumlah barang bukti, meliputi 42 tanaman anggrek tanduk rusa atau epifit dan tujuh tanaman anggrek tanah saat ini dititipkan di rumah anggrek Kebun Raya Baturraden (KRB).

Seorang staf KRB, Nuri Jelma Megawati menjelaskan tanaman anggrek tersebut memiliki karakteristik yang khusus dan harus hidup di lingkungannya.

"Seperti anggrek tanah, biasanya hidup di dalam hutan hujan tropis dengan ketinggian kisaran 500-3.400 meter di atas permukaan laut. Jika ditanam di daerah yang tidak sesuai dengan habitatnya tentunya akan cepat mati. Pun juga dengan anggrek tanduk rusa," ia membeberkan.

Lebih jauh ia mengemukakan, fenomena pengambilan tanaman di alam atau hutan juga pernah terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu, tanaman yang menjadi primadona diambil besar-besaran adalah kantung semar atau Nepenthes andrianii.

"Banyaknya pengambilan kantung semar saat itu membuat tanaman itu semakin langka hingga saat ini. Walau diambil, tanaman tersebut belum tentu bisa hidup karena memiliki sensitivitas yang tinggi," Nuri menjelaskan.

Karena itu, ia mengimbau agar tanaman yang berada di alam liar hutan hujan tropis Indonesia, seperti anggrek gunung tidak semestinya diambil.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya