Liputan6.com, Yogyakarta - Yogyakarta, 27 Mei 2006. Pagi itu bumi Yogyakarta bergoyang. Gempa 5,9 skala richter yang berlanjut dengan gempa-gempa susulan membuat ribuan rumah di kota itu rata dengan tanah. Orang-orang terluka dan meregang nyawa.
Sayudi, kepala dukuh Potrobayan Srihardono, Pundong, Bantul, masih ingat pagi itu dirinya tengah terlelap di kamar bersama salah satu anaknya. Ia terbangun karena getaran yang hebat dirasakan. Gempa besar. Sontak dia bopong anaknya keluar, menyusul istri dan anak lainnya yang sudah di luar rumah.
Setelah gempa berhenti ia baru merasakan kondisi yang sangat mencekam. Beberapa rumah di sekitarnya roboh. Suasana gelap karena hampir seluruh rumah hancur menimbulkan debu pekat.
Dalam kondisi itu ada isu gempa bakal disusul tsunami dari laut selatan. Banyak warga berlarian ke arah utara ke kota Yogyakarta.
"Saya tidak lari karena lihat aliran sungai tidak berubah. Warga yang lari lalu balik," ujar Sayudi kepada Liputan6.com di Yogyakarta, Jumat (27/5/2016).
Dia mencatat, gempa pertama sekitar pukul 06.00 WIB disusul jam 08.00 WIB dan yang besar jam 09.00 WIB.
"Awalnya rumah belum roboh namun jam 10 ke atas itu rumah-rumah sudah mulai roboh," katanya.
Baca Juga
Semua korban diungsikan di lokasi pengungsian yang ada di sudut desa. Ia menghitung, setidaknya ada 13 orang yang terbaring di pengungsian. Sementara warga luka-luka ada sekitar 40-an.
Kondisi saat itu memang semuanya dalam keadaan terbatas. Obat-obatan terhitung seadanya. Warga yang luka bervariasi, mulai dengan luka ringan hingga berat. Ada warganya yang terpaksa lahir di pengungsian. Si bayi mendapat nama Lindu.
Sayudi mengingat saat itu warganya sangat terikat secara emosional karena sama-sama merasakan kehancuran. Tak ada sekat sosial antara kaya dan miskin karena semua rumah hancur.
Warga saling membantu untuk membersihkan puing puing rumah yang hancur secara bersama-sama.
"Kalau trauma masih terasa. Kalau dulunya keluarganya korban dan korban cacat gitu setiap ada gempa walaupun ada gempa kecil masih pada keluar. Masih trauma," ujar Sayudi.
Advertisement
Trauma warga menjadi-jadi karena kehancuran yang terlihat seperti dampak bom nuklir di suatu daerah. Semua rata dengan tanah.
Suara Dentuman
Usai gempa warga mendengar suara dentuman dentuman yang ada di dekat sungai arahnya. Suara itu membuat kondisi malam usai gempa semakin mengkhawatirkan warga.
Mereka terus bertanya akankah kembali terjadi gempa besar. Sebagian besar menghabiskan malam di tenda seadanya saat itu.
Bahkan warga tidak bisa tidur karena mendengar suara seperti dentuman yang terdengar sangat dekat dengan mereka. Sura itu masih terdengar hingga lima bulan ke depan usai gempa.
"Itu malam hari setelah jam 7 malam suara dentuman terdengar. Awal dari itu suara dentuman terus datang setiap 10 menit datang sampai 5 bulanan ada. Seringnya itu 2-3 bulan itu sering," ujar dia.
Di tengah trauma masyarakat yang masih terasa saat ini, semua warga mulai paham akan keselamatan diri saat menghadapi bencana gempa. Warga mulai memperbaiki struktur bangunan rumah saat membangun rumah sesuai dengan anjuran dari pemerintah dan LSM yang mendampingi mereka saat gempa.
Sayudi menceritakan, usai gempa, empat bulan kemudian mulai terlihat geliat aktivitas masyarakat. Pembangunan rumah terus dilakukan secara bergotong-royong. Pembangunan rumah diprioritaskan bagi warga yang punya balita dan orangtua.
Kisah mencekam tentang gempa saat itu juga diceritakan oleh Heriyadi warga Potrobayan. Dia merasa saat gempa itu seolah ia melayang ke udara dan jatuh berkali kali.
"Setahu saya waktu itu kita kayak didorong ke atas terus dijatuhkan gitu rasanya," kata Heriyadi.
Di pengungsian, mayat-mayat terbaring. Di luar suasana panik. Dalam kondisi itu, kata Heriyadi, marak juga kasus pencurian dan penjarahan. Pelakunya pura-pura jadi relawan, namun mengambil barang-barang berharga dari rumah-rumah yang ditinggalkan.
Kini, kata dia, warga mengingat gempa sebagai peringatan agar orang-orang bekerja sama saling membantu. Memang masih trauma, tapi warga terus bangkit dan belajar dari sejarah gempa Yogya.