Liputan6.com, Makassar - Mandar adalah salah satu dari empat suku besar di Sulawesi Selatan, selain Bugis, Makassar dan Toraja. Pada masa kejayaan kerajaan tempo dulu di Sulawesi Selatan terdapat tiga kerajaan besar yang dikenal dengan sebutan Tellu Boccoe, yaitu Mangkau ri Bone, Sombayya ri Gowa, dan Payung ri Luwu.
"Kemudian di jazirah Mandar terdapat pula kerajaan besar dan berpengaruh pada zamannya, yaitu Kerajaan Balanipa yang dikenal dengan Arajang ri Balanipa," ucap Gunt Sumedi, penulis dan pemerhati budaya Sulawesi Selatan, kepada Liputan6.com di Makassar, Sabtu (9/7/2016).
Sumedi menuturkan, saat masa Kolonial Hindia Belanda, Mandar termasuk wilayah pemerintahan pusat bernama Afdeling Mandar dikepalai oleh seorang asisten residen yang dibagi atas empat onderafdeling (setingkat kecamatan), masing-masing dikepalai seorang controleur. Keempat onderafdeling tersebut ialah Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa.
Advertisement
Baca Juga
Namun, imbuh dia, seiring perkembangan zaman dan bertambahnya jumlah penduduk serta tuntutan pemekaran wilayah, maka saat ini Mandar berada dalam satu wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat. Ini berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2004 tentang Provinsi Sulawesi Barat dengan tiga kabupaten tambahan, sehingga menjadi enam.
Keenam kabupaten itu adalah Polewali Mandar (Polman), Mamasa (hasil pemekaran Kabupaten Polman), Majene, Mamuju. Mamuju Tengah (hasil pemekaran Kab. Mamuju) dan Mamuju Utara/Pasangkayu (juga hasil pemekaran Kabupaten Mamuju).
Meski demikian, hingga kini Mandar masih disebut-sebut sebagai salah satu dari empat suku atau etnis besar di Sulawesi Selatan.
Asal Usul Mandar
Lebih lanjut Sumedi menuturkan, jauh sebelum Hindia Belanda mencengkeramkan kuku kekuasaannya di Tanah Air, Mandar sudah memiliki sistem pemerintahan oleh raja-raja asli Indonesia yang merdeka dan berdaulat dalam kerajaan. Terbagi atas dua kelompok, yaitu Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.
"Pitu Ba'bana Binanga arti harfiahnya adalah tujuh muara sungai tujuh kerajaan di bagian pesisir pantai daerah Mandar. Dan sebaliknya Pitu Ulunna Salu arti harfiahnya tujuh hulu sungai, maksudnya tujuh kerajaan di bagian pegunungan daerah Mandar," ujar dia.
Adapun mengenai asal-usul nama Mandar beragam pendapat sempat mengemuka beberapa waktu lalu. Misalnya seniman dan budayawan, almarhum A Syaiful Sinrang. Ia mengatakan Mandar berasal dari kata 'Mandara' yang artinya cahaya.
Sedangkan budayawan Darwis Hamzah mengatakan, Mandar berasal dari kata 'Mandaq' yang artinya kuat.
"Kemudian ada pula yang berpendapat diambil dari nama Sungai Mandar yang berpusat di Kerajaan Balanipa (Pitu Ba'bana Binanga) dan hulunya di bagian Pitu Ulunna Salu. Sehingga mungkin dari nama sungai ini pula diambil nama Teluk Mandar," Sumedi memaparkan.
Ia mengungkapkan pula, Mandar adalah sebutan bagi orang Mandar sendiri. Sedangkan orang Toraja menyebut To Mandaq, orang Bugis menyebut To Menre', dan orang Makassar menyebut To Mandara'.
"Dalam hubungan kemasyarakatan setiap orang Mandar akan menganggap orang itu adalah orang Mandar, walaupun berasal dari suku lain atau bangsa lain. Namun apabila ia telah belajar sikap dan perilaku orang Mandar, dengan kata lain apabila ia telah ditata dengan budaya Mandar dan ingin menjadi orang Mandar, maka Mandar pulalah dia," tutur Sumedi.
Hal ini pulalah yang mendasari pernyataan kata orang Mandar, walaupun status atau predikat seorang Mandar mempunyai klasifikasi tentang keberadaannya sebagai orang Mandar. "Lebih dari itu, kata Mandar bukan hanya bermakna sebagai sekelompok orang yang berdiam di Mandar yang sekarang berada dalam wilayah enam administrasi pemerintahan," ia menambahkan.
Esensinya, lanjut Sumedi, kata Mandar berasal dari kata Mandaq (Sipamandar) yang artinya saling memperkuat dan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Kata ini tertuang dalam perjanjian Luyo pada abad ke-XVI atau lebih dikenal dengan Allamungan Batu di Luyo (peletakan pertama dasar kesepakatan).
Jadi menurut pengertian sebagian kalangan, orang Mandar yang sebenarnya adalah semua penduduk yang bermukim di kawasan Pitu Ba'baba Binanga dan Pitu Ulunna Salu.
"Itulah yang disebut orang Mandar pribumi. Akan tetapi orang Mandar yang sesungguhnya adalah mereka yang memahami akan sifat-sifat dan budaya Mandar itu sendiri," sebut Sumedi.
Advertisement
Minim Sumber Sejarah
Budaya Mandar memang masih bertahan hingga kini. Namun, menurut Sumedi mengatakan, suatu kendala yang kerap dirasakan dalam kesejarahan baik lokal maupun nasional adalah kekurangan bahan kepustakaan.
Apalagi, imbuh dia, sejarah Mandar dan Kerajaan Balanipa khususnya yang diperkirakan berdiri pada sekitar abad XVI atau sekitar 1511 Masehi, tidak banyak meninggalkan jejak. Baik itu berupa istana sebagai pusat pemerintahan pada zamannya, pusaka maupun benda kerajaan yang dapat dijadikan bukti sejarah bagi generasi kini dan mendatang. Ini sebagaimana yang dimiliki daerah lain di Tanah Air.
"Selain lontarak (naskah lokal yang ditulis di atas daun lontar dengan aksara lontarak). sehingga sangat perlu ketelitian dan kehati-hatian agar kisah sejarah yang dipaparkan tidak terjebak pada kejadian yang direka-reka dan dibumbui dengan mitos yang tempat dan proses kejadiannya sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sejarah harus berdasarkan fakta dan logika. Bukankah begitu?" ucap Sumedi.
Berdirinya Kerajaan
Awal berdirinya kerajaan-kerajaan di wilayah Mandar, hingga beberapa waktu silam belum dapat dipastikan. Namun menurut sejarawan Zainal Abidin Farid, Kerajaan Balanipa di Mandar sudah ada sejak abad ke-IX sebagaimana bersumber pada naskah La Galigo.
Namun setelah pada suatu ketika timbul kekacauan berlarut-larut yang sulit diatasi, seorang Mara'dia yang tak lain adalah keturunan dari Tomakaka Napo bernama I Manyambungi mampu meredam kekacauan tersebut sekaligus bisa memulihkan keadaan seperti semula, sehingga atas keberhasilannya itu ia diangkat menjadi raja pertama di Balanipa.
"Maka mulailah saat itu diadakan perhitungan yang baru tentang awal berdirinya Kerajaan Balanipa di Mandar yang diperkirakan terjadi pada permulaan abad XV hampir bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Gowa ke-9, Daeng Matanre Karaeng Tumappa'risi Kalonna (1511-1547)," kata Sumedi mengutip Profesor Zainal Abidin Farid.
Berdasarkan berbagai macam sumber dari tradisi lisan yang dikenal orang Mandar, khususnya di Balanipa mengisahkan mengenai I Manyambungi. Ia merupakan Mara'dia (raja) Balanipa yang pertama dan adalah putra Tomakaka Napo serta keturunan Tomanurung dari Ulu Saddang.
Ia disebutkan adalah putra dari Puang Digandang dari istri yang bernama We Apas -- putri dari Todiurra-Urra yang juga adalah saudara kandung dari I Rerasi (ibunda Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi Kalonna).
Penelusuran Sosok I Manyambungi
Menurut Sumedi, tradisi lisan yang banyak dan beragam tentang I Manyambungi tersebut sesungguhnya sebagai bentuk pernyataan dan penggambaran kekaguman terhadap peran yang dikaitkan dengan kepribadian serta keberadannya di Balanipa.
Yang jelas, menurut dia, kehadiran I Manyambungi di tengah-tengah masyarakat telah membawa perubahan signifikan di berbagai sektor kehidupan. Terutama pada sistem politik pemerintahan serta pola perubahan yang juga membawa dampak positif dalam sistem kemasyarakatan. Pola perubahan itu menjadi acuan dasar hukum ketatanegaraan di berbagai amara'diang di kawasan Mandar.
Sampai saat ini umumnya orang Mandar mengenal I Manyambungi yang bergelar Todilaling sebagai salah seorang tokoh utama yang meletakkan dasar kuat keseimbangan kekuasaan (balance of power) antara Mara’dia dan kaum adat dalam sejarah Mandar.
Namun, menurut Djamaluddin Azis Paramma Dg Djaga, budayawan keturunan anggota Bate Salapang Gowa yang pernah meneliti Mandar selama 12 tahun mengatakan, I Manyambungi itu bukan nama yang sebenarnya bagi sang tokoh. Melainkan nama pemberian ketika ia merantau ke Gowa dan diangkat sebagai keluarga kerajaan kemudian memperistri Karaeng Surya (I Sorai) putri dari Karaeng Sanrobone yang juga adalah cucu dari Raja Gowa.
Arti nama dari I Manyambungi itu sendiri dalam bahasa Makassar adalah menyambung yang maksudnya menyambung hubungan kekerabatan orang Makassar dan Mandar.
Makam Leluhur
Bahkan dari hasil penelitian Djamaluddin Azis, imbuh Sumedi, menyebutkan makam I Manyambungi atau Todilaling yang berada di tempat ketinggian di Desa Napo itu perlu diteliti kebenarannya.
Ini mengingat ketika Djamaluddin bersama seorang profesor ahli sejarah dan kepurbakalaan asal Yogyakarta melakukan penelitian, tidak ditemukan tanda-tanda atau semacamnya yang dapat dijadikan bukti kuat bahwa di tempat itu pernah dimakamkan seorang raja bernama I Manyambungi berikut 14 dayang-dayang setia yang terdiri dari 7 pria dan 7 wanita.
“Perlu dilakukan penelitian lebih seksama tentang makam tersebut, benarkah itu makam Todilaling? Apalagi berdasarkan keterangan beberapa saksi yang ditemui ketika melakukan penelitian, diperoleh penjelasan bahwa sekitar tahun 50-an makam itu pernah digali oleh gerombolan DI/TII dengan harapan bisa mendapatkan emas atau benda berharga lainnya milik kerajaan," kata Sumedi mengutip Djamaluddin.
"Namun karena berhari-hari tidak menemukan apa-apa, gerombolan itu berujar, 'Jangankan emas batangan atau benda-benda berharga lainnya, sepotong tulang belulang pun tidak ditemukan di situ'," Sumedi menambahkan.
Dengan demikian, lanjut dia, dalam rangka menjaga kemurnian sejarah perlu dilakukan penelitian tentang kebenaran makam Todilaling di Napo tersebut.
"Juga semestinya di lokasi makam dibuatkan keterangan dalam bentuk relief atau semacamnya yang merinci secara lengkap waktu, hari, tanggal dan tahun dimakamkannya Todilaling di situ, termasuk nama 14 dayang-dayang yang ikut dikubur,” kata Sumedi kembali mengutip Djamuluddin.
Nyanyian dari Makam
Kompleks makam yang terdapat pohon beringin berusia ratusan tahun yang selama ini diketahui oleh masyarakat setempat menurut paparan kisah, konon ikut serta dikubur 14 dayang-dayang setia I Manyambungi terdiri dari 7 wanita dan 7 pria.
"Mereka dikubur sambil bernyanyi bahkan entah betul atau tidak, sampai sekarang kabarnya masih sering terdengar suara nyanyian dari dalam kubur. Nyanyian itu lebih kurangnya berbunyi: Penja tuu mai. Tania apamupappaja' pe'guruanna Manyambungi mangala. Artinya, aadalah kami telah menjadi ikan-ikan kecil, bahwa hal itu terjadi karena pekerjaan yang luar biasa dari I Manyambungi," tutur Sumedi.
Kompleks Makam Todilaling tepatnya berada di Desa Napo, Kecamatan Limboro, Kabupaten Polewali Mandar. Terletak di atas ketinggian dengan kemiringan 60 derajat terdiri dari 168 anak tangga serta diapit Gunung Mosso yang tandus.
"Mara'dia dilarang mendekati kuburan tersebut kecuali hanya kerisnya yang bisa dibawa ke atas. Soal jumlah 168 anak tangga tersebut, tidak diketahui apa maknanya," kata Sumedi.
Nurjannah sendiri selaku juru kunci makam menggantikan almarhum suaminya mengatakan tidak tahu-menahu.
"Dan yang memprihatinkan di bawah pohon beringin raksasa di kompleks makam itu oleh segelintir oknum masyarakat tertentu telah dijadikan tempat pemujaan dan sesembahan untuk meminta sesuatu yang menjurus pada perbuatan syirik. Hal ini sudah berlangsung cukup lama tanpa ada pencegahan atau larangan dari pemerintah desa setempat," tulis Djamaluddin Azis, seperti dikutip Sumedi.
Ironinya lagi, imbuh Sumedi, ketika Djamaluddin menanyakan keberadaan lontarak Kerajaan Balanipa, Nurjannah mengatakan berada jauh di luar Desa Napo. Itu pun jika akan dibuka, kata Nurjannah, tidak boleh sembarangan tapi harus disertai penyembelihan hewan ternak berupa kambing.
Salah satu versi paparan kisah I Manyambungi adalah pada sekitar abad ke-14, seorang laki-laki belia putra Tomakaka di Mandar karena sesuatu kesalahan yang telah ia perbuat berangkat ke Gowa. Ia hendak meminta suaka atau perlindungan sekaligus berniat mencari pengalaman. Ia pun diterima menetap dan diangkat menjadi keluarga istana.
Selanjutnya, menurut Sumedi, karena berbagai prestasi dan kelebihan yang dimiliki, ia lantas mendapat kepercayaan sebagai panglima laskar Kerajaan Gowa. Boleh jadi, berangkat dari kisah inilah, beberapa tahun silam di Sulsel sempat berkembang istilah Bone Balla ri Menre bagi kerajaan di Mandar.
Beragam Pendapat dan Kontroversi
"Namun karena kemudian memunculkan beragam pendapat yang kontroversi, khususnya di kalangan budayawan dan sejarawan Mandar karena dianggap tidak sesuai dengan latar belakang fakta sejarah, maka istilah itu kini berubah menjadi Arajang ri Balanipa yang maksudnya raja Balanipa bukan berarti raja Mandar," ujar Sumedi.
Sementara versi lain ada pula yang menuturkan sekitar abad ke-15 di suatu perkampungan bernama Batu-Rappang (Tapngo) hiduplah seorang pemuda berparas ganteng, cerdas, berperawakan tinggi besar dan berkulit putih bersih bergelar Arajang Dilolo-lolo.
"Banyak wanita pada waktu itu yang jatuh hati padanya termasuk seorang putri cantik jelita yang sangat tergila-gila (Pottomaling) membuat si putri nekat mengikuti pemuda ganteng tersebut yang akhirnya mereka menikah," tutur Sumedi.
Ia menuturkan, berselang beberapa bulan kemudian di suatu lapangan di Rappang diadakan sayembara ketangkasan berkuda sambil menjerat leher rusa dengan tali laso. Pada acara itu hadir pula Arajang Dilolo-lolo bersama istrinya yang ketika itu sedang hamil dan keduanya menempati posisi persis di pinggir arena.
Ketika salah seorang Mara’dia tampil menunjukkan kebolehannya berkuda, lanjut Sumedi, tiba-tiba tali laso di tangannya bukannya diarahkan ke leher rusa yang ada di arena, tapi ditujukan ke leher Arajang Dilolo-lolo kemudian menyeretnya dengan paksa ke arah perbukitan di wilayah Batu. "Sang istri yang menyaksikan kejadian itu tak bisa berbuat banyak selain hanya berteriak histeris."
Sumedi menjelaskan, kejadian itu ternyata karena latar belakang dendam dan rasa cemburu Mara’dia akibat wanita idamannya yang Pottomaling kemudian dipersunting oleh pria yang hari itu dijerat lehernya dan diseret dengan kuda ke arah gunung batu.
"Orang-orang yang juga menyaksikan kejadian itu berupaya menasihati sang istri agar bersabar menerima kejadian tersebut meski memang istri mana yang tega melihat suami tercinta diseret di depan mata," kata Sumedi.
Ia melanjutkan kisah, sesampainya di rumah dengan perasaan sedih dan hancur luluh perempuan malang ini mengusap perutnya sambil berucap seolah berkata pada bayi yang sedang dikandungnya. Siga'ko messu ana'u apa' namubayar indrangmu di Mandar, artinya cepatlah engkau lahir anakku, akan engkau bayar utangmu di Mandar.
Ringkas kisah setelah lahir dan besar, menurut Sumedi, si anak tersebut bukan hanya tumbuh sebagai pemuda yang ganteng, berperawakan tinggi besar, berkulit putih serta cerdas sebagaimana ayahandanya, tapi ia juga memiliki ketangkasan di atas rata-rata dalam menunggang dan mengendalikan kuda bahkan bisa memerintah sesuka hati hewan tunggangan tersebut sebagaimana layaknya memerintah manusia.
Kuda Menari
"Karena itulah sehingga sampai sekarang di jazirah Mandar, khususnya di Polewali Mandar terdapat kesenian tari yang melibatkan beberapa ekor kuda yang pintar disuruh menari berlenggak lenggok sambil mengangguk-angguk atau menggelengkan kepalanya yang disebut Saiyang Pattu'du' atau kuda menari," Sumedi mengungkapkan.
Ini konon karena 'ilmu' memerintah kuda yang asal muasalnya milik si pemuda putra Arajang Dilolo-lolo yang kemudian dilestarikan sampai sekarang, terutama oleh kelompok seni parrawana (rebana).
Kisah selanjutnya tidak diketahui apa yang dilakukan si pemuda setelah mengetahui ayahandanya tewas setelah diperlakukan sebagaimana di atas.
"Tapi menurut paparan yang dikemukakan Abd Rasyid sesepuh Desa Rappang, pada suatu hari si pemuda tersebut datang ke Napo dan memacu kudanya dengan kencang naik turun perbukitan dengan tangkas sehingga menarik perhatian orang-orang di Napo kemudian mereka saling tanya siapa gerangan pemuda gagah dan tangkas tersebut?" kata Sumedi.
Menurut sesepuh Desa Rappang tadi, dia itulah sesungguhnya yang dikisahkan berangkat ke Gowa kemudian oleh Karaeng Gowa diberi nama I Manyambungi (menyambung hubungan kekerabatan Makassar-Mandar) dan menjadi Raja I Balanipa.
Sebagaimana penjelasan dari beberapa sumber lokal (lontara') di Mandar, disebutkan seorang I Manyambungi, sejak masih belia (usia belasan tahun) datang di Gowa dan tinggal di Istana Raja Gowa, menjadi anggota keluarga dan setelah dewasa mendapat kepercayaan sebagai pemimpin Laskar Kerajaan Gowa bahkan ikut terlibat sekaligus turut memenangkan peperangan saat terjadi perang antara Kerajaan Gowa dengan Pariaman (sumber dari memori asisten residen Leyds di Mandar tahun 1940 mengatakan Kerajaaan Tambora).
I Manyambungi kawin di Gowa dengan Karaeng Surya ( I Sorai), putri dari Karaeng Sanrobone Takalar yang juga adalah cucu dari Raja Gowa. Dari perkawinan itu lahir seorang putra yang diberi nama Tomepayung yang setelah dewasa menjadi Raja ke-2 Balanipa menggantikan Ayahandanya. Tomepayung kemudian dikaruniai 3 orang putri, salah seorang di antaranya bersuami ke Bima (menurut Residen Leyds, bersuami kepada Raja Tanete).
Selang beberapa waktu, Karaeng Surya mangkat sehingga I Manyambungi kawin lagi dengan salah seorang familinya, yaitu putri raja di Napo dan dikaruniai tiga putra-putri, yang putra bernama Todijallo yang kemudian menjadi Raja ke-3 Balanipa.
Advertisement
Gelar Todilaling
Sumedi menuturkan pula, keberhasilan I Manyambungi dalam memulihkan situasi keamanan dan menenteramkan kehidupan masyarakat, menyebabkan ia kemudian dipilih dan dinobatkan menjadi pemimpin atau pemegang kendali kekuasaan pemerintahan atas persekutuan Appe' Banua Kaiyang dan negeri-negeri yang ditaklukkan.
"Inilah yang kemudian menjadi cikal berdirinya Kerajaan Balanipa dengan pusat pemerintahan di Napo-Tinambung (sekarang Kecamatan Limboro)," ujar Sumedi.
Bahkan, beberapa sumber lisan menyebutkan bahwa atas keberhasilan I Manyambungi menaklukkan para Tomakaka yang menjadi sumber kekacauan tersebut, maka sejak itu pula ia digelar Todilaling (orang yang dibawa).
"Itu berawal saat banyak yang bertanya-tanya, terutama orang Napo dan Mosso, siapa gerangan pahlawan kesatria yang gagah berani dan berhasil memulihkan situasi keamanan tersebut? Karena tak banyak yang tahu tentang I Manyambungi, apalagi selama sekian lama ia berada di Gowa, sehingga tak ada yang bisa memberi penjelasan," ia memaparkan.
"Saling tanya di tengah-tengah masyarakat tentang keperkasaan I Manyambungi ketika itu disebutkan kurang lebih sebagai berikut; 'Innai di'o tau tu'u, barani sanna?' Artinya, siapa gerangan orang itu? Dia hebat dan gagah berani? Yang lain lantas menjawab, 'Andiang uissang, tapi uiranni di'o tau Todilaling Pole Gowa. Artinya saya tidak tahu, tapi yang kita dengar dia orang yang dibawa dari Gowa, sehingga sejak itu sebutan atau gelaran Todilaling bagi I Manyambungi menjadi sapaan akrab sehari-hari khususnya orang Gowa yang menyertai I Manyambungi kembali ke Napo, ikut-ikutan memanggil I Manyambungi dengan sapaan Todilaling," Sumedi menambahkan.
Demikian pula kenapa kemudian beberapa Mara'dia Mandar dipanggil Daeng. Menurut Sumedi bermula dengan kebiasaan orang Makassar yang memanggil 'Daeng' kepada I Manyambungi. Terutama bagi mereka yang merasa usianya lebih muda, sehingga orang-orang Mandar khususnya yang mendengar itu, ikut-ikutan memanggil bahkan menjadi kebiasaan menyebut 'Daeng' kepada raja bahkan keturunan Mara'dia sampai sekarang.
Namun, lanjut Sumedi, soal gelar Todilaling ada pula yang berpendapat karena ketika I Manyambungi wafat, turut serta 14 dayang-dayang setia yang terdiri dari 7 pria dan 7 wanita dikubur bersama I Manyambungi, termasuk benda-benda pusaka kerajaan ikut ditanam di situ. sehingga karena itulah gelar Todilaling disematkan kepada I Manyambungi.
"Tak hanya itu, ada pula yang berpendapat bahwa ketika tiba di Napo untuk memerangi para Tomakaka yang sering membuat kekacauan tersebut, ikut serta ratusan orang Gowa menyertai kepulangan I Manyambungi. Dengan demikian, orang Mandar ketika itu menyebut mereka (orang Gowa itu) sebagai Todilaling (orang yang dibawa)," ujar Sumedi.
Namun kemudian sapaan Todilaling oleh orang Gowa justru dianggap kepada I Manyambungi. Padahal sebenarnya merekalah yang dimaksud.
"Tetapi juga tidak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya gelar Todilaling terhadap I Manyambungi bukan ketika beliau telah wafat, tapi justru semasa hidup dan menjadi Raja I Balanipa beliau telah bergelar Todilaling," Sumedi memungkasi riwayat Kerajaan Balanipa Mandar.