Liputan6.com, Jakarta - Ada satu tarian Bali yang berada di ambang kepunahan. Padahal akhir tahun lalu, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) mengakui jika tarian tersebut merupakan warisan budaya dunia.
Tari Sang Hyang Dedari namanya. Bahkan, warga Desa Bona, Gianyar, Bali Selatan yang diyakini sebagai wilayah asal Sang Hyang Dedari, sudah tak lagi menarikan ritual sakral tersebut.
Keterangan itu disampaikan seorang tetua desa (pekak) yang ditemui di Sanggar Tari Paripurna, I Made Sijah.
Advertisement
"Ada dua tari di Desa Bona, Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran. Dulu, keduanya masih ditarikan di pura, sekarang warga menarikan tari itu tetapi untuk tamu (turis)," ujar Sijah seperti dikutip dari Antara, Rabu (10/8/2016).
"Dulunya, beberapa kali ritual masih ditarikan saat odalan (hari raya) seperti Galungan dan Kuningan," dia menambahkan.
Saat ini Tari Sang Hyang Dedari kian langka, karena 'taksu' (ketulusan) menjalankan ritual dianggap telah hilang. "Bidadarinya tak mau lagi melinggih (memasuki tubuh para penari), mungkin karena taksunya sudah tak ada."
Baca Juga
Situasi yang sama juga terjadi pada warga Denpasar, wilayah yang dulunya sempat memiliki ritual Tari Sang Hyang Dedari. Ni Ketut Arini, seorang maestro tari dari Desa Sumerta, Denpasar mengakui dirinya pernah menarikan Sang Hyang Dedari di Banjar atau desa adatnya.
"Dulu sebelum mementaskan Legong, para penari mesti menarikan Sang Hyang Dedari terlebih dahulu", kata Arini saat ditemui di sanggar tari miliknya, Warini di Denpasar.
"Saya teringat banyak warga masih menarikan Tari Sang Hyang sekitar tahun 1960-an, ada banjar di Sanur yang menjalankan ritual tersebut. Saat ini memang tari itu jarang, bahkan tampaknya tak ditarikan lagi di Bali," tutur perempuan yang kerap mengajar tari Bali di Jepang dan Amerika Serikat itu.
Jejak Sang Hyang Dedari
Namun, tarian itu ternyata sempat ditarikan oleh warga desa di Nusa Ceningan, pulau yang dapat disambangi dengan kapal dari Pantai Sanur, Denpasar.
Informasi itu didapat dari Made Suar, ketua Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian budaya dan lingkungan. Tarian itu sengaja dihidupkan kembali di Nusa Ceningan untuk meredakan konflik antarwarga.
"Sekitar 2001 saya bersama Yayasan Wisnu mengajak warga desa menjalankan kembali ritual Tari Sang Hyang Dedari," tutur Suar.
Ia mengungkap, warga terlibat konflik akibat adanya investor yang ingin mengembangkan pariwisata tak berkelanjutan dan dinilai dapat mengancam mata pencaharian penduduk setempat yang sebagian besar adalah nelayan dan petani rumput laut.
Akhirnya, Sang Hyang Dedari, disebut warga setempat sebagai Sang Hyang Ukupan diaktifkan kembali guna meredakan ketegangan serta mengembalikan keseimbangan di masyarakat.
Tarian Terakhir?
Harapan terakhir upaya pelestarian Sang Hyang Dedari yang terancam punah ditemukan di Dusun Banjar Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali.
Warga setempat masih aktif menarikan ritual tersebut tiap masa menguning padi, yaitu sekitar awal Maret hingga April. Kabar baik itu disampaikan oleh prajuru (pengelola) desa, I Wayan Bhrata, 56 tahun, bersama bendera (pemimpin) setempat, I Nengah Likub (80).
"Warga desa adat (pakraman) Geriana Kauh masih menjalankan ritual Tari Sang Hyang Dedari sebagai ungkapan syukur untuk Dewi Sri serta untuk menolak bencana hama dan kekeringan", ujar Bhrata.
"Seluruh masyarakat kami, berjumlah sekitar 177 kepala keluarga (KK) adalah petani, sehingga sawah dan Sang Hyang Dedari merupakan hal yang tak dapat dipisahkan bagi para bapak dan ibu subak."
Meski demikian, ia mengaku tak mengetahui bahwa Sang Hyang Dedari di desa adatnya merupakan yang terakhir.
"Tentunya saya berharap tarian ini tidak punah, karena sebelumnya warga sempat tak menjalankan ritual beberapa puluh tahun yang lalu, dan kami telah merasakan akibatnya, sawah rusak, bahkan banyak warga meninggalkan desa," ucap Bhrata.
Advertisement