Liputan6.com, Malang – Polybag sayur-mayur berjajar rapi di pelataran rumah Tasemat, warga Dusun Sumberkunci, Desa Babadan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebuah pohon cengkeh juga tumbuh tinggi menjulang di halaman rumahnya.
Saat ini mudah menjumpai sayuran ditanam dengan media polybag di rumah warga di dusun tersebut. Dahulu, tanaman semusim itu lebih banyak ditanam di kebun warga dusun yang berada di lereng Gunung Kawi itu. Sudah beberapa tahun ini pola tanam semusim mereka tinggalkan.
"Sekarang menanam sayuran di polybag hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari–hari. Sudah bukan tanaman wajib ada di kebun," kata Tasemat saat ditemui di rumahnya, Kabupaten Malang, Jatim, pada 1 September 2016.
Pria berusia 39 tahun itu adalah Ketua Kelompok Tani (Poktan) Lestari Makmur. Butuh waktu panjang bagi Tasemat mengubah pola pikir para petani agar berhenti menanam tanaman semusim, seperti sawi, jagung, cabai dan lainnya berganti tanaman tegakan dan pohon keras di kebun mereka.
Baca Juga
Dusun ini berada di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (MDPL), persis di kaki Gunung Kawi. Mayoritas lahan pertanian warga ada di tebing curam dengan tingkat kemiringan 45 derajat. Bahaya, seperti longsor setiap saat mengintai jika pola tanam itu tak berubah.
Di wilayah Kecamatan Ngajum juga terdapat 17 sumber mata air yang dimanfaatkan oleh warga setempat, maupun diambil oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Malang. Tasemat sadar, alih fungsi lahan berpotensi mengancam keberlangsungan sumber mata air di sekitar mereka.
"Ngajum ini bisa disebut sebagai salah satu daerah penyangga kebutuhan air masyarakat Malang. Kalau pola tanam tak diubah, kami khawatir debit air akan ikut menyusut drastis," ucap Tasemat.
Ayat Alquran
Semua bermula pada 2004 silam. Tasemat saat itu merupakan seorang guru honorer di sekolah dasar setempat. Ia sekaligus menjadi ketua karang taruna di dusunnya. Prihatin dengan kondisi lingkungan sekitar, ia kemukakan gagasan tentang pentingnya menjaga lingkungan ke warga setempat.
Sebagai alumni anak pesantren, Tasemat juga ingat ajaran gurunya tentang menjadi pribadi yang bermanfaat dengan ikhlas beramal dan ilmu yang berguna bagi masyarakat. Ia mendapati dalam QS Ar Ruum ayat 6-12 tersurat bahwa menanam pohon termasuk amalan yang pahalanya bakal terus mengalir.
"Menanam pohon itu amalan yang sangat baik karena menghasilkan oksigen yang dibutuhkan manusia. Saya pun secara ikhlas dengan niat ibadah, mengajak menanam pohon," kata Tasemat.
Ajakan untuk menanam di sekitar sumber air dan lereng bukit lalu disampaikan ke masyarakat. Tidak ada respons positif dari warga terhadap ajakannya saat itu.
Ia menyadari, tanpa contoh nyata, ajakan itu pasti diabaikan oleh warga. Tasemat yang memiliki kebun seluas dua hektare kemudian menanam pohon sengon suren dan mindi di seperempat hektare lahan miliknya.
Di sela pepohonan itu ditanami tanaman tahunan produktif seperti kopi, cengkeh, dan duren. Ia juga menanam pisang, rumput gajah, dan lainnya.
Dalam jangka pendek, tanaman produktif ini tetap mendukung perekonomian. Skala panjang, pohon keras yang ditanam seperti kayu menjaga keberlangsungan lingkungan.
"Bibit pohon dan tanaman tahunan ya beli sendiri. Banyak warga yang mencibir keputusan saya. Mereka menganggap aneh, kebun sayur kok diganti ditanami pohon apa tak sayang," kenang Tasemat.
Secara perlahan, hampir seluruh lahan perkebunannya ditanami beragam tanaman kayu keras dan tanaman tegakan. Lambat laun, ada 17 petani di dusunnya mengikuti apa yang dilakukan oleh Tasemat.
Pada akhirnya, mereka tahu menanam kayu dan tanaman tahunan itu punya nilai lebih secara ekonomi dan lebih menguntungkan dibanding tanaman semusim macam sayuran.
"Butuh lebih dari empat tahun memberi pemahaman ke para petani. Saya sadar, secara sumber daya manusia petani itu sulit diberi pemahaman lewat diskusi saja. Harus ada bukti nyata dan mereka akan mengikuti," tutur Tasemat.
Belakangan, Tasemat dan warga lainnya memutuskan menghidupkan kembali Poktan Lestari Makmur pada 2008 yang sebelumnya mati suri. Tasemat pun menggunakan seperempat lahan perkebunannya sebagai sekretariat kelompok tani dan rumah kompos.
Advertisement
Keuntungan Ekonomi
Tasemat terus menebar virus pola agroforestry yang digagasnya. Virus itu, kata dia, merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan yang ditawarkan untuk mengatasi masalah akibat adanya alih fungsi lahan sekaligus untuk mengatasi masalah pangan para petani.
Secara eknomi juga lebih menguntungkan. Jika menanam sayuran di luas lahan satu hektare, per tahun petani mendapat sekitar Rp 20 juta. Sedangkan dari tanaman pohon keras seperti sengon, dalam empat tahun mendapat pemasukan sebesar Rp 80 juta.
Itu belum termasuk panen buah dari tanaman tegakan yang bisa dipanen tiap tahun, seperti seperti duren, kopi, hingga cengkeh. Sampai saat ini, Poktan Lestari Makmur terus meluas. Dari awalnya yang hanya satu desa, kini tercatat memiliki 421 anggota yang tersebar di lima desa dengan luas lahan seluruhnya mencapai 277 hektare.
"Para petani akhirnya tahu, ada nilai sosial dan ekonomi dengan mengganti lahan pertanian mereka itu. Bahwa menjaga lingkungan sekaligus untung secara ekonomi," kata Tasemat.
Pada 2013, lahan pertanian tanaman semusim yang sudah ditanami pohon dan tanaman tegakan produktif oleh Tasemat dan para petani akhirnya menjadi Hutan Rakyat Wana Lestari dan mengantongi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Perjuangan melestarikan lingkungan berbuah mendukung perekonomian.
Pada tahun itu pula, Tasemat memutuskan berhenti mengabdi sebagai guru dan fokus pada upaya pelestarian lingkungan. Kegigihan Tasemat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengembalikan fungsi hutan itu diganjar penghargaan sebagai Penyelamat Lingkungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 2016.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Malang, Tridiyah Maestuti mengapresiasi yang dilakukan oleh Tasemat untuk lingkungan sekitarnya. Kabupaten Malang membutuhkan sosok seperti Tasemat yang mampu mengubah kondisi sekitarnya menjadi lebih positif.
"Ini menunjukkan kesadaran masyarakat untuk peduli dan melestarikan lingkungan. Kebijakan pemerintah tak akan berjalan tanpa upaya keras dari masyarakat itu sendiri," ucap Tridiyah.
Tasemat sendiri tak mempedulikan penghargaan yang diraihnya. Ia sadar tak bisa mengandalkan pemerintah untuk menjaga kelestarian lingkungan. Meski demikian, Tasemat berharap pemerintah lebih aktif mendorong kesadaran warga untuk melestarikan lingkungan.
"Kalau mengandalkan pemerintah ya belum tentu jadi. Kami semua berangkat dari kesadaran sendiri untuk menjaga lingkungan," ucap Tasemat.