Liputan6.com, Kupang - Antropolog budaya dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Pater Gregorius Neonbasu, menilai cara terbaik untuk menyelesaikan masalah perbatasan Indonesia-Timor Leste adalah melalui jalur hukum adat.
Usulan ini terkait sengketa dengan Timor Leste pada lahan perbatasan seluas 1.169 hekatare di Naktuka, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
"Hukum adat menjadi salah satu solusi terbaik untuk penanganan masalah sengketa lahan perbatasan negara yang sampai saat ini masih belum diatasi dengan baik," katanya di Kupang, Rabu (4/10/2016), dilansir Antara.
Advertisement
Neonbasu yang juga Ketua Dewan Riset Daerah NTT itu mengatakan hukum adat itu tetap hidup, berlaku, dan diakui di mana-mana. Hanya saja, pemerintah sering kali hanya tunduk kepada hukum positif dan kurang peka dengan inti dari hukum adat yang tetap eksis.
"Pemerintah harus mengakui kekuatan hukum adat tersebut, yang sungguh mengikat dan ada pada hati manusia," kata rohaniwan Katolik itu.
Baca Juga
Menurut dia, persoalannya hampir di semua daerah di Indonesia menganaktirikan hukum adat. Nantinya, pemberlakuan hukum adat tersebut tentunya harus direstui secara hukum dan didukung dengan hukum positif oleh negara.
Artinya, lanjut dia, apa yang diakui oleh hukum adat harus dengan sendirinya diakui pula oleh hukum adat dan tidak boleh saling bertentangan atau ditentangkan.
"Hal yang sama saya rekomendasikan secara antropologis kepada pemerintah daerah di perbatasan ketika melakukan kunjungan ke Desa Napan dan Haumeniana di Kabupaten Timor Tengah Utara," kata dia.
Dia berharap, pemerintah Indonesia bisa menempatkan hukum adat sebagai solusi terbaik untuk penanganan sengketa perbatasan tidak hanya di Naktuka, tetapi juga untuk daerah yang masih disengketakan di Kabupaten Timor Tengah Utara.
Sejalan dengan itu, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Nusa Tenggara Timur Paul Manehat mengakui penyelesaian sengketa perbatasan harus mengedepankan hukum adat.
Karena itu, pihaknya tengah berkoordinasi dengan pemerintah pusat agar bisa mempertemukan tokoh adat ataupun raja dari kedua pihak yang bersengketa.
"Perundingan adat juga merupakan usulan utama dari masyarakat di daerah perbatasan," kata dia.
Namun, lanjut dia, karena persoalan ini berkaitan dengan wilayah hukum negara maka pemerintah juga mempertimbangkan dari aspek tersebut.
"Pemerintah juga tentu mempertimbangkan berbagai aspek terkait tidak hanya hukum adat namun juga landasan hukum negara sebagai bahan dalam perundingan dengan pihak Timor Leste," kata Paul.
Dia berharap agar upaya penanganan masalah perbatasan yang sedang dikoordinasikan oleh pemerintah ini bisa berjalan dengan lancar dan hasil akhir bisa memberikan solusi terbaik bagi kedua bela pihak tanpa adanya konflik.