Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Kabupaten Purwakarta berencana memasukkan kurikulum tambahan sebagai kurikulum muatan lokal pada pelajaran agama di setiap sekolah mulai Desember mendatang. Kurikulum kultur tersebut berupa belajar membaca kitab kuning bagi pelajar Muslim, sedangkan siswa nonmuslim diharuskan mendalami kitab ajarannya masing-masing.
Untuk itu, Pemkab Purwakarta menyiapkan anggaran sebesar Rp 10 miliar untuk menggaji 582 guru rohani dari seluruh agama agar lebih mendalami agamanya masing-masing. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memastikan program tersebut tidak akan mengganggu pelajaran agama yang termaktub dalam silabus.
Ia berpendapat, tambhan pelajaran itu justru dapat membantu pelajar untuk lebih mendalami ajaran agama yang diyakini para pelajar. Menurut Dedi, pelajaran agama saat ini hanya diberikan secara normatif bahkan cenderung monoton. Padahal, seluruh agama memerlukan pemahaman yang komprehensif.
"Kalau keadaan ini terus dibiarkan, ini dapat memicu penyebaran pengetahuan agama yang ‘katanya’ karena sumber pengetahuan tidak diketahui secara langsung oleh pelajar. Pengaruh jangka panjangnya, agama akan dipahami sebagai dogma bukan standar perilaku kehidupan. Lebih parah lagi, akan semakin marak semangat kafir mengkafirkan," kata Dedi, Kamis, 13 Oktober 2016.
Baca Juga
Lebih lanjut kata Dedi, selain mengajarkan perbedaan pendapat, juga mengajarkan metodologi berpikir kepada para pembacanya. Ini penting agar pelajar di Purwakarta terbiasa dengan perbandingan pendapat-pendapat yang beredar atas sebuah persoalan.
"Kalau sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat kan enak. Kalau pelajar mendapati pendapat yang berbeda, mereka akan merujuk kepada kitab-kitab yang mereka pelajari, tidak satu kitab saja, sehingga timbul alternatif-alternatif," ujar dia.
Sementara itu, sebelum kebijakan itu efektif diberlakukan, Pemkab Purwakarta melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lintas Tokoh Agama akan menggelar seleksi calon guru rohani.
Satu orang guru rohani Agama Islam akan ditempatkan di satu sekolah. Sementara untuk non-muslim karena jumlah pelajarnya sedikit, berdasarkan klasifikasi agama akan ditempatkan di satu sekolah untuk mendapatkan pengajaran sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
Advertisement
Didukung Kiai
Rencana tersebut didukung berbagai kalangan, tidak terkecuali kalangan Kiai. Ketua Rijalul Anshor Jawa Barat Kiai Ahmad Anwar Nasihin sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Raudhatut Tarbiyah Liung Gunung Plered Purwakarta, menilai belajar kitab kuning berdampak positif bagi perkembangan keilmuan pelajar Purwakarta.
Anwar mengusulkan pengajar kitab kuning di sekolah umum tersebut harus berasal dari pesantren. Menurut dia, ini penting karena belajar kitab kuning bukan saja soal transfer pengetahuan di dalamnya. Akan tetapi, belajar kitab kuning merupakan transfer kultur pesantren karena ada adab dan etika yang harus dipenuhi oleh pelajar.
"Belajar kitab kuning bukan melulu persoalan ilmunya akan tetapi ada etika, ada akhlak dan adab yang harus dibiasakan. Kalau gurunya tidak biasa mengajar santri, saya kira malah tidak bagus nantinya," kata Anwar.
Anwar mengatakan silabus kitab kuning juga harus disusun dengan segera mengingat tingkatan pengajaran kitab kuning di pesantren pun berbeda-beda. Menurut dia, jika merujuk kepada Kitab Ta’limul Muta’allim, prioritas kitab yang harus diajarkan adalah kitab kuning berisi pelajaran Tauhid, menyusul kemudian pelajaran Fiqih dan terakhir Tashawuf atau Akhlak.
"Bentuknya bisa saja lokakarya para pimpinan pesantren, agar ada benang merah nanti setelah pelajar ini belajar kitab kuning di sekolahnya bisa juga melanjutkan ke pesantren," kata dia.
Â
Selain Anwar, pimpinan Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Kiai Faris El Haq menyebutkan penerapan kebijakan baru di Purwakarta ini menandakan komitmen pemerintah daerah setempat untuk mengintegrasikan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama.
Pelajar yang belajar kitab kuning, menurut Kiai Faris, selain akan memperoleh pengetahuan baru, mereka juga akan memperoleh ketepatan referensi secara langsung dari para ulama penyusun kitab kuning tersebut.
Menurut dia, tidak pernah ada pendapat penyusun kitab kuning yang subjektif menurut kesan pribadi penyusun. Seluruh pendapat dalam kitab kuning, lanjut dia, dapat diverifikasi kebenarannya secara akademik.
"Selain itu, mereka dapat berkah, iya toh? Para penyusun kitab kuning itu masyaallah, mereka bukan saja menulis, tetapi mereka riyadhoh, latihan, wirid, tirakat sambil menulis kitab pada masanya," kata Faris saat berkunjung ke salah satu Pondok Pesantren di Purwakarta.
Advertisement