Pimpinan Ponpes Mataram Diduga Selundupkan Calon TKI ke Jepang

Keenam korban tersebut diduga sengaja di-setting untuk memberikan keterangan palsu kepada petugas saat pengajuan paspor.

oleh Hans Bahanan diperbarui 28 Okt 2016, 07:05 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2016, 07:05 WIB
Bukti Dugaan penyelundupan calon TKI ke Jepang
Bukti Dugaan penyelundupan calon TKI ke Jepang, Kamis (27/10/2016). (Hans Bahanan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Mataram - Imigrasi kelas I Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) memeriksa salah satu pimpinan pondok pesantren (ponpes). Pemeriksaan tersebut, diduga terkait rencana pengiriman calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Jepang secara tidak resmi alias ilegal.

Kepala Seksi (Kasi) Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Wasdakim) Imigrasi Mataram, Agung Wibowo menjelaskan pemeriksaan terhadap pimpinan ponpes asal Lombok Timur tersebut berinisial MN.

Ia diperiksa setelah pihak imigrasi menemukan kejanggalan pada pengajuan paspor enam orang dengan tujuan studi banding ke Singapura menggunakan rekomendasi dari MN.

"Dari 6 orang itu, semuanya mengaku studi banding, namun ada satu orang yang menyebut bahwa ia pengen bekerja di Jepang. Karena itu, kami lakukan pendalaman," ujar Agung Wibowo, Kamis (27/10/2016).

Setelah dilakukan pemeriksaan, seluruhnya diketahui bukan santri pondok pesantren melainkan staf dan orang luar pesantren. Agung juga mengatakan keenam korban tersebut diduga sengaja di-setting untuk memberikan keterangan palsu kepada petugas saat pengajuan paspor.

Penyidik Imigrasi Mataram juga menemukan alat bukti yang kuat dari seluruh korban. Salah satunya berupa kuitansi pembayaran sebagai alat bukti dugaan rencana penyelundupan calon TKI.

"Di kuitansi itu tertera untuk pembayaran ke Jepang. Dan dari kesaksian korban, mereka rata-rata disuruh membayar Rp 20 juta. Pelunasannya akan dilakukan saat mereka mendapatkan visa," kata Agung.

Saat ini, pihak Imigrasi sedang memeriksa MN, jika terbukti melakukan pelanggaran maka MN akan dijerat Pasal 126 huruf C UU Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya