Asal Mula Penemuan Satai Klatak

Tak hanya namanya yang unik. Cara memasak satai klatak juga tak biasa.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 01 Nov 2016, 09:05 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2016, 09:05 WIB
Asal Mula Penciptaan Sate Klatak
Tak hanya namanya yang unik, cara pemasakan sate klatak juga tak biasa. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - "Klatak...klatak," suara percikan bara api berpadu dengan daging kambing ditusuk jeruji yang hanya dibumbui garam membahana. Semakin kencang laki-laki itu mengipasi tungku pembakaran, kian keraslah suara klatak yang ditimbulkan.

Bumbu sederhana itulah yang kemudian memunculkan nama baru menu satai yang menjadi salah satu ikon kuliner di Yogyakarta.

Asal mula nama klatak melekat di benak Siti Khalimah. Mertuanya, Pak Jupaini, merupakan pelopor warung satai klatak di Bantul. Ketika itu, Pak Jupaini yang semula bekerja sebagai kusir andong memutuskan beralih mata pencaharian menjadi penjual satai kambing.

"Bapak hanya pakai bumbu garam saja yang dilumuri di daging kambing sebelum dibakar. Garam terbakar itulah yang menghasilkan suara klatak-klatak," ujar perempuan yang saat ini mengelola warung satai Pak Jupaini bersama dengan suaminya di acara silaturahmi nasional peternak kambing di Pasar Gabusan Bantul, Minggu siang, 30 Oktober 2016.

Sementara, kekayaan bumbu dituangkan dalam kuah kare yang mirip dengan kuah gulai sebagai pelengkap hidangan klatak.

Sang mertua, kata dia, ingin menjual satai kambing dengan kemasan yang tidak biasa. Akhirnya, jeruji sepeda pun digunakan sebagai pengganti tusuk bambu.

Dari segi pembakaran, jeruji menghasilkan kematangan daging yang lebih merata. Berbeda dengan pembakaran konvensional, tusuk bambu cenderung mudah patah padahal daging belum terbakar sempurna.

Siti mengungkapkan, hampir seluruh penjual satai klatak di sepanjang Jalan Imogiri merupakan keturunan Pak Jupaini. Tiga dari sembilan anak Pak Jupaini memiliki warung satai klatak, yakni Warung Sate Kambing Maadi, Hawing, dan Kabul. Sementara Kabul adalah suami Jupaini yang meneruskan usaha sang mertua.

Dua orang cucu Pak Jupaini yang merupakan kakak beradik, yakni Pak Nyong dan Pak Pong, juga mendirikan warung satai klatak. Warung satai Pak Pong yang berlokasi di Jalan Imogiri Timur terbilang tersohor dibandingkan dengan warung satai milik saudara-saudaranya. Pasalnya, wisatawan domestik dari kota besar menjadikan warung satai itu sebagai pedoman untuk mencicipi kuliner klatak.

Siti bercerita, bersama dengan Kabul, dia memiliki peternakan kambing sendiri yang dikhususkan untuk mendukung usaha warung satai klataknya. Dia juga mempunyai dua orang pekerja yang bertugas sebagai tukang jagal. Dalam sehari, warung satainya membutuhkan lima sampai enam ekor kambing.

"Kalau hari libur bisa potong 10 ekor kambing," ucap Siti.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya