Liputan6.com, Batam - Musibah kapal tenggelam yang membawa 98 tenaga kerja Indonesia (TKI) plus tiga awak dari Johor, Malaysia, ke Batam pada 2 November 2016, turut mengubur mimpi Nurhalida agar dapat membiayai sekolahnya sendiri.
Sekitar setahun yang lalu, Nurhalida (16) yang baru saja lulus sekolah menengah pertama (SMP) bertekad baja hendak ke Malaysia untuk bekerja. Mimpinya hanya satu, yakni mengumpulkan uang untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA).
"Saya ingin sekali masuk SMA. Tapi, orang tua tidak punya dana, makanya saya berusaha mencari sendiri," kata Nurhalida, yang ditemui di penampungan Nilam Suri Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Sabtu, 5 November 2016, seperti dilansir Antara.
Meski ditentang, perempuan yang akrab disapa Aida itu tetap pada pendiriannya.
Perempuan asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu berjanji pada diri sendiri untuk hanya bekerja sebentar di Negeri Jiran sampai dana sekolah terkumpul.
Sejumlah dokumen terpaksa dikaburkan, agar Nurhalida bisa berangkat ke Malaysia melalui jalur resmi dan tercatat sebagai TKI legal.
Advertisement
Baca Juga
Setelah sekitar delapan bulan bekerja sebagai asisten rumah tangga, ia berhasil mengumpulkan ribuan ringgit Malaysia.
Anak ketiga dari enam bersaudara itu pun memberanikan diri menghadap majikan, dan mengutarakan keinginannya untuk pulang ke Tanah Air. Ia pun diizinkan.
"Majikan saya baik, tidak ada masalah," tutur perempuan muda itu.
Aida pun dipulangkan majikan kepada agen yang menjadi perantaranya. Agen pun meluluskan keinginan Aida untuk pulang.
Tapi, agen bukannya mengantar perempuan itu pulang melalui jalur resmi. Aida malah diberikan petunjuk untuk pulang melalui jalur gelap (ilegal), melalui hutan dan menumpang kapal kecil untuk sampai di Batam.
Agen pun tidak membayarkan biaya kepulangannya. Aida harus merelakan tabungannya untuk pulang.
Ia diantar melalui hutan untuk sampai ke pelabuhan yang kelam di Malaysia. Bersama puluhan TKI lainnya, Aida kemudian mengarungi lautan di tengah gelombang yang tinggi.
"Di sana saya berkenalan dengan tiga orang, semuanya perempuan," Aida bercerita.
Tiga teman barunya itu duduk bersebelahan di kapal tanpa tempat duduk. Semuanya lesehan di kapal fiber yang melaju menembus waktu di tengah malam.
Kapal Terbalik
Sampailah kejadian nahas itu. Kapal tersangkut di karang, disusul gelombang besar yang membalikkan kapal bermuatan penuh.
Aida, bersama tiga kawan barunya terempas ke dalam air laut yang gelap.
Tas tanpa ritsleting yang disandang di bahunya ikut melayang. Uang sebanyak 2.900 ringgit dan Rp 2 juta berhamburan di udara, sebelum berserakan di air yang dingin.
Secepat itu, Aida kehilangan mimpi sekaligus dana untuk membiayai sekolahnya sendiri terempas. Jangankan untuk mengumpulkan lagi uang yang tercecer, menyelamatkan nyawa sendiri pun sulit.
"Teman saya yang baru, kalau tidak salah namanya Mirna memeluk saya. Kami saling berpelukan, takut tenggelam," tutur Aida dengan nada lirih.
Mereka lama berpelukan, sampai Aida merasa tubuh kawannya itu semakin berat, membawanya jauh ke dalam air.
"Saya berusaha melepaskan badannya. Dia bilang, tolong..., saya tak kuasa, saya nak bantu dia," ia menambahkan.
Namun, badan kawannya itu jauh semakin berat terbawa ke bawah air. Kawannya itu tidak lagi memeluk badan Aida, melainkan celana panjangnya, kemudian menariknya hingga lepas dan menghilang dari jangkauan mata.
Aida mencari. Dan, ia menemukan mulut teman barunya sudah dalam keadaan menganga. "Dia meninggal," ujar dia.
Terombang-ambing di Lautan
Limbung, Aida juga merasa tidak ada harapan. Seluruh kepalanya berada di bawah permukaan air. Sampai seorang TKI lain menarik rambutnya, dan menyeretnya hingga dapat berpegangan ke atas sebatang kayu.
"Di situlah saya bertahan, berpegangan ke kayu. Sekitar dua jam sampai ada nelayan yang datang untuk menolong," ujar anak petani itu.
Aida ditolong nelayan Kota Batam pada dini hari, dan langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kepri dalam keadaan setengah sadar.
Begitu sadar, ia pun diminta mengidentifikasi korban meninggal yang berhasil ditemukan tim. Di sana ia melihat jenazah tiga kawan barunya, termasuk perempuan yang ingin diselamatkannya.
"Saya beruntung bisa selamat," kata Aida.
Nuraida bersama 38 korban selamat lainnya diinapkan di penampungan Nilam Suri sambil menunggu pemulangan ke daerah masing-masing.
Ia pun kembali merangkai mimpinya yang sempat tercebur ke laut.
"Saya sudah telepon orang tua. Kakak saya yang bekerja di Saudi pun janji akan membiayai uang sekolah saya untuk SMA," katanya. Kali ini ia tersenyum, meski matanya masih sering menerawang.
Aida bertekad, apa pun yang terjadi harus melanjutkan sekolah.
Sekarang, ia menanti kepulangan ke Lombok, bertemu orang tua, dan segera mengenakan seragam putih-abu-abu.
Sementara itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) akan menanggung seluruh biaya pemulangan korban selamat dan meninggal dalam peristiwa tenggelamnya kapal pengangkut TKI ilegal di Batam.
"Baik korban meninggal ataupun selamat kami tanggung pemulangannya hingga kampung halaman," kata Sekretaris Utama BNP2TKI, Hermono.
Pemulangan 39 orang korban selamat masih membutuhkan waktu karena mereka masih dibutuhkan untuk mengenali setiap jenazah yang sudah ditemukan.
"Mereka diminta untuk membantu agar jenazah bisa diidentifikasi. Bila sudah selesai juga akan kami pulangkan," Hermono menjelaskan.
Adapun hingga Jumat sore, 4 Oktober 2016, tim SAR gabungan telah menemukan 54 orang jenazah, 41 orang korban selamat kapal tenggelam tersebut. Enam orang masih dinyatakan hilang dan dalam proses pencarian.