Liputan6.com, Malang - Nur Miftahul Jannah duduk di kursi kayu siang itu. Beberapa kereta dorong bayi serta tumpukan baju balita ada di dekatnya. Di bawahnya, ada tiga balita memainkan beragam mainan yang berserakan di lantai.
Mifta, demikian Nur Miftahul Jannah biasa disapa, bersama bocah–bocah itu berada di lantai dua rumahnya di Jalan Muharto V RT 3/10 Kelurahan Kota Lama, Kota Malang, Jawa Timur. Pagar besi setinggi lebih dari 1 meter ditutup papan fiber di sekelilingnya menjadi pelindung aktivitas mereka.
Di lantai dua rumah itu pula terdapat tiga kamar yang masing-masing diisi tiga kasur. Di situlah ada 11 bocah dengan yang terkecil berusia 2 bulan dan tertua berusia 14 tahun tinggal bersama Mifta dan suaminya Syaiful Bahri. Mereka semua bukan anak kandung Mifta.
Mereka adalah anak-anak kurang beruntung lantaran ditinggal oleh orang tuanya. Karena meninggal dunia atau ditinggal kabur begitu saja. Dibantu tetangga sekitar rumah, Mifta merawat bocah-bocah itu. Rumah, sekaligus jadi panti sosial Yayasan Peduli Kasih KNDJH (Kisah Nyata dan Jeritan Hati).
"Dua di antara balita itu adalah anak tenaga kerja wanita di Hong Kong. Mereka dititipkan saat masih berusia dua bulan, sejak itu pula tak jelas dimana keberadaan orang tuanya," kata Mifta, Senin 7 November 2016.
Advertisement
Baca Juga
Panti sosial itu tidak hanya merawat anak-anak. Di bangunan lantai bawah, tiap Minggu mulai pukul 09.00 – 12.00 digunakan tempat belajar bagi bocah kampung setempat. Mereka dibimbing mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi yang mau datang sukarela untuk mengajar.
Berjarak lima meter dari rumah ini, masih ada satu lagi rumah milik Mifta. Dilengkapi lima ranjang pasien dan peralatan medis pertolongan pertama.
Rumah ini jadi tempat singgah pasien dari keluarga miskin yang datang dari berbagai daerah. Mereka pengidap kanker, tumor dan penyakit ganas lainnya yang ingin berobat ke rumah sakit di Malang, tapi terkendala biaya.
Pasien itu tak memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tidak juga tercantum dalam program layanan kesehatan lainnya dari pemerintah. Sehingga, sulit mendapat pengobatan di rumah sakit.
"Sudah di rumah sakit dan tidak ada biaya, jadi sulit dapat layanan pengobatan. Pasien ada yang disarankan oleh dokter yang sudah kami kenal untuk datang ke sini," kata Mifta.
Melalui Yayasan Peduli Kasih KNDJH, Mifta membantu pasien mendapat akses kesehatan. Caranya, memfasilitasi agar mereka mendapat Surat Pernyataan Miskin (SPM) dari pemerintah daerah asalnya. Namun, pasien akan disurvei ke tempat asal mereka untuk memastikan bahwa benar membutuhkan.
"Mereka umunya tak tahu alur pengurusan SPM, jadi kami bantu sampai dapat. Selama proses pengurusan itu, mereka tinggal di panti ini. Kalau ada tunggakan biaya berobat, juga kami bantu. Kami dampingi sampai dapat pengobatan," ucap Mifta.
Yayasan Peduli Kasih KNDJH yang digagas Mifta awalnya fokus pada upaya membantu pasien mendapat akses kesehatan. Dalam perkembangannya, yayasan yang didirikan secara resmi sejak 2014 lalu itu turut merawat balita terlantar.
Kisah Miris TKW
Mifta hanya lulusan Sekolah Dasar, bekas tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong selama 2001 – 2014. Yayasan Peduli Kasih KNDJH persis didirikan setelah ia memutuskan berhenti bekerja sebagai buruh migran. Sesuai nama yayasan itu, Mifta mengalami banyak kisah miris sebelum memutuskan mendirikan yayasan.
"Saya pernah mengalami kekerasan dari majikan di tempat kerja, pernah tak digaji berbulan–bulan saat kerja sebagai buruh migran di sektor domestik," ungkap Mifta.
Ia mengisahkan pada 2010, ibu kandungnya dinyatakan dokter positif mengidap kanker payudara. Saat butuh biaya untuk pengobatan ibunya, majikan malah tak membayarkan upah kerjanya. Akhirnya, sang ibu meninggal dunia tahun itu juga karena tak mendapat perawatan layak.
"Saya anak tunggal. Ibu di rumah sendirian, tidak ada yang mengurus untuk berobat tiap hari, apalagi biayanya mahal. Sulitnya akses kesehatan penyebab ibu tak bisa diselamatkan," tutur dia.
Saat itu juga Mifta berusaha tegar. Rekan sesama TKW di Hong Kong juga saling menguatkan. Sebab di antara mereka pernah mengalami musibah serupa, keluarga di Indonesia tak mendapat akses kesehatan. Mereka berbagi kisah, merutuki akses dasar yang seharusnya mudah didapat.
Mifta pada 2010 belum bersuami dengan Syaiful Bahri. Berbagai cerita pilu keluarga buruh migran itu dikisahkan ulang ke Syaiful Bahri yang selain memiliki usaha konveksi juga aktif di komunitas sosial. Banyak kisah itu kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, tak hanya di media sosial tapi juga dicetak di kertas.
Kisah yang ditulis dan dicetak di kertas itu selanjutnya dijual ke teman kerja di Hong Kong dengan harga saat itu senilai Rp 10 ribu per cerita. Banyak rekan sesama TKW di Hong Kong mau membeli. Duit hasil penjualan tulisan itu disimpan dan dikirim ke Syaiful Bahri agar dikelola bersama komunitas sosialnya.
Ia juga menyisihkan sebagian penghasilannya selama di Hong Kong untuk mendukung aktifitas sosial itu. Rumah peninggalan orang tuanya dibenahi dan ditambahi beberapa peralatan medis. Teman buruh migran di Hong Kong juga sukarela donasi untuk kegiatan itu.
Advertisement
Solidaritas Buruh Migran
Sampai akhirnya di tahun 2014 Mifta berhenti bekerja sebagai TKW dan pulang ke Indonesia agar lebih fokus mengelola yayasan. Di tahun itu pula ia juga menikah dengan Syaiful Bahri. Sampai saat ini, masih ada beberapa rekan TKW di Hong Kong yang rutin mengirim uang ke Mifta untuk kegiatan sosial itu.
"Sampai sekarang banyak teman di Hong Kong yang mau bantu. Relawan yayasan juga ada di beberapa daerah," ucap dia.
Donasi yayasan Mifta saat ini tak hanya dari buruh migran saja. Beberapa dokter di rumah sakit juga mau membantu jadi donatur. Yayasan ini juga sudah bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi untuk menggelar pengobatan gratis.
Mifta tak hapal sudah berapa banyak pasien yang dibantu melalui yayasan itu. Satu yang diyakini oleh Mifta, apa yang diperbuatnya untuk meringankan beban orang yang membutuhkan. Sehingga, nasib yang pernah dialami ibu kandungnya tak sampai menimpa pasien lainnya.
"Kami terbuka ke siapa yang yang membutuhkan bantuan, siapa saja bisa datang. Kami berharap akses kesehatan itu bisa dijangkau orang tak mampu," tutur Mifta.