Liputan6.com, Gunungkidul - Sepuluh tahun lalu, Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, hanyalah desa sepi. Suasana itu berubah 180 derajat setelah Gunung Api Purba Nglanggeran ditetapkan UNESCO sebagai Kawasan Global Geopark Network pada 19 September 2015.
Namun, geliat wisatawan mengunjungi Nglanggeran sebenarnya dimulai sejak 2011 lalu.
Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nglanggeran Sugeng Handoko mengatakan, kondisi ini membuat warga yang awalnya mencari pendapatan di luar desa hingga ke luar negeri sadar. Dengan kunjungan wisatawan mencapai 14 ribu orang per bulan, warga yang dahulu menjadi TKI pulang dan pilih mengelola desa wisata Nglanggeran.
"Mayoritas masyarakat kami dulu menjadi TKI, ke Malaysia, ada yang ke Korea. Trennya itu berangkat, pulang dan berangkat lagi. Jadi, mantan TKI dulu sekarang mengelola desa wisata. Pengelolaan geoparak membuat kesejahteraan mulai terangkat," ucap Sugeng, Jumat, 2 Desember 2016.
Menurut Sugeng, setidaknya ada 154 orang yang terserap mengelola desa wisata Nglanggeran. Penyerapan warga ini membuat desanya yang dahulu merupakan desa pengekspor TKI kini sudah berubah. Kesadaran warga tentang potensi wisata mengubah pola pikir masyarakat Nglanggeran.
"Mulai tidak berangkat lagi itu terasa sekali tahun 2013, 2014. Kita satu-satunya desa yang memiliki banyak TKI, yang dikoordinir untuk mengolah aset wisata di desa dan mereka memilih tidak berangkat lagi ke luar negeri. Mereka tahulah rekosone nang luar negeri (sulitnya di luar negeri)," kata Sugeng.
Saat ini, 80 orang mantan TKI sudah menetap di desanya dan memutuskan tidak kembali lagi ke tempat kerjanya. Bahkan jika dijumlah, 80 persen dari 80 homestay yang ada di Nglanggeran merupakan bekas TKI. Selain itu, mantan TKI ini juga memiliki usaha lain seperti petani hingga peternak.
Baca Juga
"Ada dua sampai maksimal empat kamar per rumah yang disewakan," ujar Sugeng.
Sugeng mengatakan, setelah lama bekerja di luar negeri, para warga ini memilih kembali ke desa dan membangun desanya. Walaupun menjadi TKI memiliki penghasilan besar, tenaga yang dikeluarkan juga besar.
Jika dilihat dari penghasilan dari wisata hanya dijadikan sebagai tambahan, bahkan terkadang penghasilan tambahan dari pariwisata lebih besar. Namun, kedekatan secara emosional yang membuat para TKI ini tidak lagi kembali ke luar negeri.
"Yang jadi petani ya tetap bertani, peternak yang beternak, wisata itu hanya tambahan. Walau terkadang di momen-momen tertentu lebih besar," tutur dia.
Sugeng menambahkan jika saat ini, masih ada beberapa warga Nglanggeran yang menjadi TKI. Jumlahnya sudah tidak banyak. Di antara mereka yang bertahan di luar negeri karena menghabiskan masa kontrak saja. Selain itu, untuk mencari modal untuk usaha di desanya.
"Masih ada, tetapi mereka berangkatnya sudah dulu. Mereka cari modal untuk membangun usaha di rumah, setelah itu untuk kembali berangkat sangat kecil kemungkinannya," ujar Sugeng.
Advertisement