Menyusuri Jejak Kasta di Jawa Lewat Mesin Jahit

Mesin jahit usang itu menjadi saksi perkembangan mode di tanah air.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 11 Des 2016, 09:10 WIB
Diterbitkan 11 Des 2016, 09:10 WIB

Liputan6.com, Yogyakarta - Lebih dari 30 mesin jahit dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta selama sepekan ini. Aneka merek buatan Belanda, seperti Singer dan Paff, berjajar memenuhi sudut ruangan. Dinding ruangan pun dipenuhi foto tua besar berbingkai.

Rata-rata foto itu menampilkan perempuan beraneka gaya, sementara sebagian lagi merupakan foto keluarga. Menilik keterangan di secuil kertas yang melekat dekat dengan puluhan mesin jahit dan foto di Bentara Budaya Yogyakarta itu, tampak jelas mesin jahit yang dipamerkan tersebut merupakan produk sekitar tahun 1800 hingga 1900.

Pantas saja, sama sekali tidak ada nuansa masa kini yang tampak dalam ruangan yang berlokasi di Jalan Suroto Kotabaru itu. Warna mesin jahit kusam, sebagian sudah berkarat.

Bentuknya pun tidak lagi ditemui di pasaran. Ada bagian mesin yang tersambung dengan selang yang biasanya diisi dengan oli, ada pula yang memiliki banyak kenop.

Sayangnya, tidak ada penjelasan mengenai fungsi dari kenop atau selang oli. Mesin jahit itu sudah tidak bisa digunakan, hanya dipamerkan, hasil pinjaman dari beberapa kolektor di Jogja, Solo, dan Magelang.

Aneka foto yang terpampang membentang pun juga berwarna suram. Bukan karena objeknya sedang muram, hanya saja memang foto-foto itu dibuat jauh sebelum teknik cetak dengan mesin dikenal.

Dari keluarga bangsawan hingga rakyat jelata di Jawa menggunakan mesin jahit untuk membuat pakaian. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Ada foto keluarga Kartini, foto sejumlah gadis Jawa yang diambil di sebuah studio foto, foto keluarga Jawa, foto remaja laki-laki Jawa, gambar beberapa perempuan Eropa dengan mengenakan ball gown atau gaun besar yang di bagian bawahnya melebar karena disematkan rangka mirip kurungan ayam, dan sebagainya.

"Mode dan mesin jahit menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sehingga itu menjadi alasan kami menggabungkan keduanya dalam pameran seri lawasan," ujar Hermanu, kurator BBY saat ditemui di sela-sela Pameran Mesin Jahit dan Mode Lama, Jumat (9/12/2016).

Ada juga mesin jahit untuk membuat sepatu bagi kalangan bangsawan. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Hermanu menjelaskan, pada awal mulanya, mesin jahit digerakkan oleh tangan, mesin jahit ini disebut mesin jahit onthel. Kemudian, berkembang sehingga muncul mesin jahit yang menggunakan tenaga kaki untuk menggerakkan putaran gigi mesin jahit. Jenis ini membutuhkan meja untuk menopang mesin tersebut.

Ada juga mesin jahit yang merupakan kombinasi dari keduanya, yakni menggunakan kaki dan tangan. Contoh mesin jahit ini adalah mesin jahit sepatu buatan Ceko pada 1920.

Bentuk dan ukuran mesin jahit bermacam-macam, sesuai dengan zaman dan kebutuhannya, mulai dari portable atau mudah dibawa, rumah tangga, sampai industri, dengan berat mulai dari satu kilogram hingga mencapai 100 kilogram.

Menilik Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat dari Jahitan Pakaian

Menilik Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat dari Jahitan Pakaian 

Ditambahkan Hermanu, melalui mode dan mesin jahit bisa diketahui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Jawa ketika itu. Ia menerangkan mesin jahit baru dirasakan secara langsung oleh masyarakat Jawa pada 1940, sekalipun mesin jahit di dunia sudah diproduksi sejak 1860-an.

Sebelum dinikmati masyarakat kebanyakan, alat yang ditemukan oleh Elias Howe, seorang berkebangsaan Amerika itu hanya bisa dimiliki oleh para priyayi atau bangsawan dan orang Belanda yang tinggal di Indonesia semasa penjajahan.

Harganya yang mahal membuat benda itu tidak bisa dimiliki sembarang orang. Hal itu, tutur Hermanu, memengaruhi pakaian yang dikenakan oleh masyarakat kala itu. Kebaya kaum ningrat jahitannya lebih rapi, jumlah pakaiannya pun lebih banyak karena pembuatannya tidak membutuhkan waktu lama ketimbang menjahit dengan jarum saja.

Pakaian dalam yang dimiliki perempuan bangsawan juga lebih rumit, ada rangkaian kancing di bagian depan. Berbeda dengan perempuan biasa, pakaian dalamnya hanya dikaitkan segaris tali.

Mode dan mesin jahit tidak dapat dipisahkan sejak dulu. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Hermanu mengungkapkan, pada 1940-an, iklim perekonomian Jawa bagus. Hal itu yang menyebabkan masyarakat berbondong-bondong membeli mesin jahit.

Tidak berapa lama, pasca kemerdekaan, ekonomi kembali memburuk dan mesin jahit perlahan hilang dari pasaran. Barulah, pada 1950-an mesin jahit kembali masuk ke Indonesia dan dikonsumsi masyarakat dalam negeri.

Secara umum, perusahaan-perusahaan ternama yang memasarkan produk mesin jahit di Indonesia berasal dari Jepang, Belanda, dan Jerman. Merek yang beredar antara lain Singer, Paff, Mouser Specia, Miyake, Gritzner-Durlach, dan Butterfly.

Selain mesin jahit, tingkat pendidikan masyarakat Jawa juga tercermin dalam foto-foto yang menggambarkan mode kala itu. Perempuan muda yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda selalu mengenakan sepatu ketika berfoto.

Demikian pula foto keluarga Kartini, tampak terlihat sang ayah di antara istri dan anak-anaknya, mengenakan alas kaki. Sementara, foto keluarga rakyat jelata mengenakan kebaya dan berpakaian rapi dengan telanjang kaki.

Biasanya, mereka berasal dari desa yang khusus datang ke kota untuk membuat foto keluarga di sebuah studio foto. Dandanan perempuan jelata yang difoto juga terlihat berlebihan, seperti melingkarkan sabuk di pinggang padahal sudah mengenakan stagen atau menyampirkan selendang seperti mengenakan syal di leher. Biasanya, kebaya dipasangkan dengan selendang di bahu.

"Pameran seperti ini penting supaya orang mengetahui perjalanan mode dan mesin jahit di Indonesia yang ternyata juga bercerita tentang kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di zamannya," tandas Hermanu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya