Liputan6.com, Kapuas - Terulangnya kembali pembantaian orangutan beberapa waktu lalu menambah daftar panjang kematian primata yang mirip manusia itu. Pembantaian orangutan itu seperti fenomena gunung es pembunuhan satwa liar.
Orangutan itu dibunuh di areal perkebunan kelapa sawit di Desa Tumbang Puroh, Kecamatan Sei Hanyu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Usai dibunuh, tubuhnya kemudian dimasak dan dikonsumsi.
Di sisi lain pembantaian orangutan yang diduga dilakukan oleh 10 orang yang notabene adalah pekerja sawit membuktikan konflik antara manusia dan orangutan di wilayah perkebunan kelapa sawit masih sering terjadi.
Advertisement
Baca Juga
"Kami mengutuk keras pembunuhan satu individu orangutan dewasa oleh 10 pekerja perkebunan kelapa sawit di Kapuas, Kalimantan Tengah. Kejadian ini menambah daftar panjang konflik antara manusia dan orangutan di wilayah perkebunan kelapa sawit," kata CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS), Jamartin Sihite, dalam siaran persnya, Kamis (16/2/2017).
Jamartin mengaku salut dan sangat menghargai respon cepat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajarannya. Dia juga mengacungi jempol tim dari Kepolisian Resort Kapuas yang dengan sigap menanggapi laporan dan segera mengamankan 10 orang pelaku
Menurut dia, penting bagi semua pihak untuk menyadari bahwa kasus seperti ini seringkali berakhir tanpa ketuntasan yang jelas dan beritanya tenggelam dalam hiruk pikuk berbagai situasi negara ini.
"Maka kami mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan para pemerhati, untuk terus memantau dan mengawal proses hukum terhadap pelaku, sampai tuntas," katanya.
Kata dia, penegakan hukum yang tegas perlu dijalankan dengan memberi hukuman yang setimpal bagi pelaku yang memberi efek jera agar kejadian seperti ini tidak terus terulang.
Jamartin menambahkan, tak hanya dilindungi undang-undang, orangutan juga jelas-jelas bukan satwa yang layak untuk dikonsumsi. Sehingga tindakan pembunuhan orangutan dan kemudian mengonsumsinya ini amat sangat keji dan menunjukkan betapa manusia tidak menghargai lingkungan dan seisinya.
"Bahwa orangutan itu satwa yang dilindungi dan ada hukuman bagi siapa saja yang menyebabkan kematian orangutan," ujarnya.
Yayasan BOS, jelas Jamartin, menilai kasus seperti ini ibarat puncak gunung es dari seluruh tindakan pelanggaran hukum terkait pembunuhan satwa liar yang dilindungi. Banyak kasus serupa yang terjadi, namun ditutup rapat dan tidak pernah dilaporkan. Kalaupun pada akhirnya terbongkar, bukti-buktinya hanya tinggal tulang belulang dan sulit melacak siapa pelakunya.
Pihaknya pun sangat menghargai pihak-pihak yang dengan kesadaran hukum tinggi telah melaporkan peristiwa ini kepada aparat yang berwenang. Meskipun mungkin pelapor menghadapi beragam risiko karena mengungkap pembantaian orangutan tersebut.
"Indonesia memerlukan lebih banyak pihak pemberani seperti ini, agar 'gunung es' yang tidak terlihat itu akhirnya bisa terungkap secara tuntas," ujar Jamartin.