Liputan6.com, Cirebon - Sebuah masjid berdinding merah berdiri kokoh di Panjunan, Cirebon, kawasan yang dikenal sebagai kampung Arab. Masjid itu disebut warga Masjid Merah Panjunan.
Menurut data Disporabudpar Kota Cirebon 2006, pembangunan Masjid Merah Panjunan berkaitan dengan migrasi keturunan Arab di Cirebon sekitar abad ke 15. Mengutip Babad Cirebon, budayawan Cirebon Nurdin M Noor menjelaskan warga Arab yang datang pertama kali ke Cirebon adalah Syarif Abdurrakhman dan ketiga adiknya. Â
"Mereka diperintah ayahnya Sultan Bagdad untuk bermigrasi ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Mereka adalah Syarif Abdurakhim, Syarif Kahfi dan Syarifah Bagdad. Daerah tujuan mereka adalah Cirebon," tutur Nurdin, Sabtu, 4 Maret 2017.
Di Cirebon, lanjut Nurdin, mereka berguru kepada Syekh Nurjati di Pesambangan Gunung Jati. Oleh Syekh Nurjati, mereka diperkenalkan kepada Pangeran Cakrabuwana.
Setelah diterima dengan baik, Pangeran Cakrabuwana memerintahkan Syarif Abdurakhman untuk membangun pemukiman yang sekarang dinamai Panjunan.
Advertisement
Baca Juga
Pangeran Panjunan memimpin dan mengayomi masyarakat Panjunan dengan memberikan masyarakat tanah liat. Oleh masyarakat, tanah liat itu dibuat menjadi gerabah. Panjunan sendiri berarti tempat pembuatan gerabah dari tanah liat.
Sedangkan, Syarif Abdurakhim membangun pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Kejaksan. "Kalau Syarif Abdurakhman dikenal dengan nama Pangeran Panjunan yang membangun Masjid Merah, sementara Syarif Abdurakhmin dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan," ujar dia.
Hingga suatu waktu, Pangeran Panjunan bersama Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Majagung, Syekh Maghridbi dan para gegedeng menghadap Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana untuk meminta izin membangun masjid.
Atas izin Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana, Pangeran Panjunan diberi wewenang untuk menjabat sebagai Nata Cirebon memangku Keraton Pakungwati.
Surau Naik Kelas
Menurut Nurdin, Masjid Merah itu awalnya sebuah surau yang menjadi tempat peribadatan kedua setelah Masjid Pejlagrahan yang berada di Kampung Siti Mulya (sebelah timur Keraton Kasepuhan).
"Disebut Masjid Merah atau Abang dalam bahasa Jawa Cirebon, karena seluruh bangunannya terbuat dari bata merah," kata dia.
Masjid Merah hanya digunakan untuk salat lima waktu dan acara pengajian rutin. Sedangkan untuk salat Jumat, hanya ada di masjid agung dan masjid-masjid lainnya.
Pada masa Sunan Gunung Jati, surau itu kerap digunakan untuk pengajian dan musyawarah para wali. Ketika Kesultanan Cirebon diperintah Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati), sekitar 1549, halaman masjid dipagar dengan kuta kosod.
"Pada pintu masuk dibangun sepasang candi bentar dan pintu panel jati berukir," ucap Nurdin.
Salah seorang pemandu Cirebon Edi Jen menyebutkan, dari sisi arsitek, jumlah tiang di dalam mesjid sebanyak 17 buah. Jumlah tiang tersebut memaknai jumlah salat lima waktu. Pintu untuk masuk ke dalam berukuran kecil dan setiap orang yang masuk untuk salat di Masjid Merah harus menunduk.
Pintu tersebut, menandakan sifat rendah hati dan harus selalu menunduk saat akan menghadap Allah. Sementara, gaya bangunan masjid perpaduan gaya Arab dan China. Bagian depan menyerupai klenteng, sedangkan bagian dalamnya gaya Arab.
"Melambangkan dari China Putri Ong Tin yang merupakan istri Sunan Gunung Jati. Filosofinya antara kedua bangsa yang membangun Cirebon berjalan beriringan ditandai juga dengan bangunan tembok mesjid yang terdapat piring-piring dari China usianya sudah mesjid sampai 700 tahun," tutur Edi.
Advertisement