Liputan6.com, Semarang E-KTP ternyata berawal dari ide orang kampung? Coba simak kisah berikut.
Sabtu malam, 1 Agustus 2009, sejumlah warga RT 7/VI Kelurahan Pedurungan Tengah, Semarang, sangat ramai. Mereka memadati lapangan badminton hasil iuran warga.
Sejumlah peralatan elektronik, tiga unit komputer layar sentuh (saat itu adalah barang mewah dan langka), satu unit komputer kecepatan tinggi, LCD proyektor, layar lebar sudah terpasang rapi. Kabel yang centang-perenang ditutup dengan tikar.
Advertisement
Warga sedang berhajat menggelar pemilihan ketua RT. Meski hanya RT, sistemnya canggih. Pemungutan suara menggunakan komputer. Daftar pemilih tetap (DPT) hanya berdasarkan KTP saja.
Diawali dengan kedatangan warga yang langsung absen sekaligus menentukan nomor urut memberikan suara. Caranya simpel, hanya beberapa detik, yakni dengan meletakkan KTP mereka ke sebuah pemindai, otomatis semua data sudah masuk database.
Saat itu, belum ada ide pembuatan E-KTP atau KTP elektronik. Pemindaian KTP dimungkinkan karena semua data di KTP sudah direkam dalam sebuah kartu RFID (radio frequency identification). Bukan hanya data di KTP saja, tapi juga dilengkapi data kependudukan lain, seperti penghasilan bulanan, kondisi rumah, jumlah keluarga dan lain-lain.
Ketua panitia pemilihan saat itu adalah Hadi Santoso. Ia menyebutkan bahwa pemilihan model elektronik vote dengan KTP elektronik sebenarnya upaya memberi contoh kepada Indonesia agar tak terjadi ribut soal Daftar Pemilih Tetap, juga soal data kependudukan yang masih acak kadut.
"Dalam KTP modifikasi versi kami, siapa yang masuk kategori miskin otomatis terdeteksi. Jadi berdasar E-KTP saja bisa mengetahui apakah dia layak mendapat Jaminan Kesehatan Masyarakat, beras miskin, bantuan langsung tunai, dan sejenisnya yang prinsipnya termuat dalam data kependudukan," kata Hadi Santoso.
Ide membangun database kependudukan dan direkam dalam E-KTP ini bermula dari keadaan Mbah Kayat. Ia warga berusia 70 tahun yang tak punya pekerjaan tetap. Rumahnya berlantai tanah dan rumah dari kayu.
Meski demikian ternyata kondisinya yang miskin itu tak membuatnya otomatis mendapatkan BLT (saat itu), beras miskin, maupun subsidi lain. Nama Mbah Kayat tak masuk dalam database warga miskin Kelurahan Pedurungan Tengah.
"Kami sudah berulangkali mengajukan ke kelurahan, namun tak pernah ada respons," kata Apriadi, Ketua RW VI Pedurungan Tengah.
"Padahal ada warga yang lebih mapan dengan rumah lebih bagus, memiliki sepeda motor, malah mendapat BLT, beras miskin dan seterusnya," katanya menambahkan. Kegelisahan ini ternyata memicu ide E-KTP.
Protes Cerdas
Perlawanan dengan protes ternyata tak berbuah. Petugas kelurahan tetap tidak mau memasukkan nama Mbah Kayat sebagai warga miskin. Akhirnya diskusi warga memutuskan untuk membuat perlawanan secara cerdas.
Dari E-KTP versi warga inilah, kemudian didemonstrasikan kegunaannya. Salah satunya sebagai kartu pemilih dengan menggelar pemilihan ketua RT.
Hadi Santoso menyebutkan bahwa pemilihan RT sengaja digelar bulan Agustus saat itu karena warga memprediksi pemilihan presiden berlangsung dua putaran. Jadi warga berharap dalam putaran kedua sudah ada perbaikan pengelolaan kependudukan.
"Ternyata setelah dijadwalkan, pilpres hanya satu putaran. Ha-ha-ha," kata Hadi Santoso, Kamis (9/3/2017) kepada Liputan6.com.
Kembali ke masalah pemilihan RT. Setelah warga semua hadir dan absen, kendali sistem pemungutan suara diambil alih komputer sepenuhnya. Panitia hanya menekan tombol enter, warga sudah dipanggil satu persatu oleh komputer.
"Saudara Wikayat, silakan memilih di bilik dua," terdengar suara panggilan dari sound system yang terhubung dengan komputer. Panggilan itu memang datang dari komputer.
Mbah Kayat menghampiri layar monitor ketiga. Jari-jarinya sedikit bergetar ketika menyentuh layar. Ia tidak canggung pun bingung.
Meski hanya memilih ketua RT, cara mereka jauh lebih modern dari pemilu presiden. Tiga komputer dengan layar sentuh untuk memilih satu dari tiga calon ketua RT.
Pemberian suara berlangsung tak lebih dari tiga detik. Untuk orangtua, waktu yang dibutuhkan lebih lama, tetapi tidak lebih dari 5 detik. Proses memberikan suara ini juga tak mungkin ada pemilih ganda atau menghanguskan suaranya.
"Dengan sistem ini, tidak mungkin ada pemilih ganda. Mereka yang tidak memenuhi syarat, seperti masih di bawah umur, atau kriteria yang lain, secara otomatis tidak akan bisa memilih,” kata Hadi.
Setelah memberikan suara, otomatis sudah diblokir dan tidak bisa memberikan suara lagi. Demikian pula dengan pilihan, setelah menyentuh salah satu foto, opsi pilihan ditutup, sehingga suara enggak mungkin hangus
Advertisement
Buatan Orang Kampung
Adalah Sutrisno (27) dan Panji (21), warga setempat yang berada di balik sistem teknologi informasi tersebut. Mereka menamakan sistem itu dengan Sistem Informasi Pemilihan RT.
Pemindai terhubung dengan komputer yang secara otomatis mengolah dan memasukkan nama dalam daftar pemilih, memanggil pemilih, menampilkan pilihan di layar, kemudian merekapitulasi hasil pemilihan.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengakomodasi 45 suara total hanya 20 menit saja. Setelah semua selesai, Hadi Santoso selaku ketua panitia kemudian memencet tombol "Enter" untuk mengetahui hasilnya.
Maka di monitor dan layar lebar terpampang perolehan suara, lengkap dengan grafik batang dan lingkaran. Bukan hanya jumlah suara yang diperoleh, juga prosentase.
Menurut salah satu warga, Sariyati (32), cara itu sangat mudah dan cepat. "Gampang sekali caranya. Coba kalau pemilu seperti ini," kata Saryati.
Keseriusan warga tak main-main. Mereka menghadirkan Hasyim Asyari, pengajar Fakultas Hukum Undip dan Konsultan Pemilu di Kemitraan (Partnership for Governance Reform)-sekarang komisioner di KPU Pusat- sebagai peninjau. Ada pula Nurhidayat Sardini Ketua Bawaslu saat itu (sekarang anggota DKPP), hingga Rahmulyo Adiwibowo (Panwaslu Propinsi Jawa Tengah) dan Henry Wahyono (KPU Kota Semarang).
Hasyim Asyari menilai gerakan ini sebagai langkah jitu menjawab tantangan modernitas pemilihan ke depan. Hasyim menyebutkan bahwa yang utama adalah database kependudukan yang terintegrasi dengan semua kebutuhan dasar warga negara.
Sekian tahun berlalu, ternyata pemilu RT itu menginspirasi Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip yang melaporkan hal ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sukawi mempresentasikan sistem kependudukan dan sistem pemilu yang digelar di sebuah kampung pinggiran kota Semarang.
Sejak itulah, wacana pembuatan E-KTP mengemuka. Bahkan akhirnya direalisasikan. Sayangnya dalam pembuatannya tidak dimaksudkan untuk perbaikan sistem kependudukan, tapi hanya diperlakukan sebagai sebuah proyek multiyear dengan anggaran hingga triliunan rupiah.
"Beda dengan sistem di kampung ini. E-KTP untuk pengadaan blanko saja enggak mampu. Aneh. Sementara kami tanpa biaya sampai kini database itu masih ada dan masih berlaku. Setiap tahun kami perbaiki jika ada perubahan," kata Apriyadi, Ketua RW Tanjungsari.
Nah, coba bandingkan pembuatan E-KTP dan apa bedanya dengan E-KTP yang pertama kali dibuat masyarakat kampung Tanjungsari? Pemilihan RT itu hanya salah satu contoh kecil pemanfaatan keberadaan E-KTP. Banyak hal lain yang berbasis data kependudukan yang bisa memanfaatkan E-KTP.