Gawat, 10 Persen Katak Khas Indonesia Terancam Tinggal Nama

Indonesia terkenal memiliki jumlah spesies katak nomor satu di Asia dan nomor dua di dunia setelah Brasil.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Mar 2017, 12:03 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2017, 12:03 WIB
Gawat, 10 Persen Katak Khas Indonesia Terancam Tinggal Nama
Salah satu katak terkecil yang baru-baru ini ditemukan. (SD Biju)

Liputan6.com, Banjarmasin - Meski Indonesia mempunyai jumlah spesies katak nomor satu di Asia dan nomor dua di dunia setelah Brasil, 10 persen spesies katak Indonesia terancam tinggal nama.

Peneliti muda dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Zainudin menerangkan saat ini terdapat 436 jenis amfibi di Indonesia yang berhasil diidentifikasi. Sebanyak 178 jenis di antaranya dapat dijumpai di Kalimantan, bahkan 73 persennya endemik.

Hampir 30 persen amfibi Indonesia digolongkan IUCN Red List dalam status data deficient atau belum bisa diidentifikasi secara lengkap menurut para ahli herpetofauna IPB.

Dilansir Antara, Zainudin berpendapat kurangnya data baik biologis maupun ekologis mempersulit kegiatan konservasi guna menyelamatkan spesies katak terancam. Kondisi semakin sulit dengan jumlah penelitian dan peneliti bidang itu yang masih sedikit.

Selain amfibi, Pulau Kalimantan juga memiliki keragaman reptil yang luar biasa. Bahkan, Kalimantan dikenal sebagai surganya para herpetologis di dunia.

Buaya senyulong (Tomistoma schegelli), tuntong laut (Callagur borneoensis), dan biawak tanpa telinga (Lanthanatus borneensis) merupakan reptilia yang paling diminati pemerhati hepertofauna dunia. Namun, ketiga spesies itu juga termasuk dalam daftar yang terancam punah.

Perubahan iklim, hilangnya habitat dan perburuan merupakan merupakan momok yang mendorong terjadinya kepunahan massal. Kecepatan kepunahannya bahkan mencapai 100 kali lebih cepat, sementara informasi mengenai objek-objek yang dikonservasi tersebut minim.

"Inilah yang dapat menyebabkan, spesies tersebut punah sebelum dipelajari atau bahkan ditemukan. Untuk itu, perlu adanya upaya perlindungan bagi spesies-spesies hepertofauna yang ada, terlebih yang belum teridentifikasi dan terisolasi," kata Zainudin.

Sementara itu, ahli katak dunia Prof. Satyabhama Das Biju mendorong para peneliti muda yang mengikuti workshopnya pada 12-18 Maret 2017, bertema Amphibian Field Ecology & Taxonomy di Research Center for Climate Change - Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

"Indonesia mempunyai banyak spesies herfetofauna, terutama amfibi, hal ini hendaknya menjadi peluang besar bagi peneliti di Indonesia sekaligus menjadi tugas besar bagi para peneliti, tidak ada yang tidak mungkin untuk menemukan spesies baru dan mempublikasikannya," ucap Biju.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya