Liputan6.com, Yogyakarta - Mesin ketik yang digunakan Douwes Dekker selama masa perjuangan ternyata ada di Indonesia. Museum di Belanda justru tidak menyimpan benda peninggalan tokoh tiga serangkai itu.
Mesin ketik bermerek Alpina keluaran awal 1900-an berwarna cokelat dengan bentuk lebih aerodinamis ketimbang mesin ketik pertama kali yang tampak kokoh karena seluruh bahannya terbuat dari besi.
Mesin ketik Douwes Dekker sebenarnya milik Johanna Petronella Mossel, istrinya yang keturunan Indo Yahudi. Lewat mesin ketik itu, Douwes Dekker yang dikenal dengan nama Setiabudi menulis kritik terhadap kebijakan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.
Selain sebagai aktivis politik, penggagas nama Nusantara untuk Hindia Belanda yang merdeka ini juga seorang wartawan.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, mesin ketik itu lekat dengan Douwes Dekker selama berhubungan dengan Johanna, berkisar 1927 sampai 1941. Pada masa itu, Douwes Dekker bergabung dalam dunia pendidikan atas dorongan Ki Hadjar Dewantara.
Ia mendirikan sekolah Ksatrian Institut (KI) di Bandung. Douwes Dekker membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya berbahasa Belanda.
Baca Juga
Advertisement
Pengembangan pendidikan di KI justru lebih fokus pada sejarah Indonesia dan sejarah dunia. Isi pelajaran sejarah itu memuat anti-kolonial dan pro-Jepang. Pada 1933, buku-bukunya disita oleh pemerintah Karesidenan Bandung lalu dibakar.
Mesin ketik yang sampai sekarang menjadi koleksi Majalah Basis itu juga menjadi saksi bisu perpisahan Douwes Dekker dengan sang istri.
"Douwes Dekker dibuang oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Suriname pada 1941 dan dia berpisah dengan istrinya yang kemudian menikah dengan Djafar Kartodiredjo dan tinggal di Kotabaru Yogyakarta," ujar Hermanu, kurator Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) kepada Liputan6.com, Senin, 10 April 2017.
Mesin ketik yang digunakan Douwes Dekker itu ikut diboyong oleh Johanna. Pada suatu ketika, Johanna membutuhkan uang untuk biaya pengobatan suaminya yang sakit. Ia meminjam uang dari Romo Dick dan menjadikan mesin ketik itu sebagai jaminan.
Hermanu menuturkan, seorang wartawan senior pernah melacak keberadaan mesin ketik yang digunakan oleh Douwes Dekker dan tidak ada satu pun yang tersimpan di museum Belanda.
"Ternyata malah masih ada di Indonesia dan dipamerkan di BBY dalam Pameran Teken," ucap dia.
Pameran Teken yang berlangsung di BBY menghadirkan ratusan koleksi benda dan alat tulis sepanjang sejarah Indonesia. Masyarakat bisa menikmati perkembangan sejarah tulis dan aksara sampai 13 April 2017.