Liputan6.com, Makassar - Ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya menutup permanen jalan Tol Reformasi Makassar. Penutupan total menggunakan batu karang itu karena ahli waris lelah menunggu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) membayarkan sisa ganti rugi lahan mereka yang dibebaskan menjadi jalan tol pada 2001 sebesar Rp 9 miliar lebih.
"Kami baru dibayar sepertiga dari total ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp 12 miliar lebih. Sisanya, 16 tahun lebih kami menunggu dan sampai saat ini tak ada hak kami diberikan," kata Andi Amin Halim, pendamping hukum ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya saat ditemui di sela-sela penutupan jalan Tol Reformasi Makassar, Senin (17/4/2017).
Delapan bulan lalu, ahli waris bersama warga setempat dan sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aktifis Mahasiswa (GAM) Sulsel berunjuk rasa dengan membangun tenda di atas lahan mereka yang dijadikan sebagai jalan Tol Reformasi Makassar.
Namun, aksi tersebut tak ditanggapi Kementerian PUPR hingga ahli waris dan ratusan warga menutup jalan tol dengan menghamburkan batu karang sebanyak dua truk sekitar pukul 06.00 Wita. Akibatnya, jalan utama akses ke Makassar macet total.
Advertisement
Baca Juga
"Kementerian PUPR juga ingkar janji dari hasil mediasi oleh Kapolda Sulsel untuk segera membayarkan sisa ganti rugi lahan sehingga kami menilai mereka tak ada itikad baik sedikit pun," ujar Amin.
Amin berharap Presiden Joko Widodo bisa turun tangan untuk memerintahkan Kementerian PUPR membayarkan ganti rugi yang telah disepakati. Â
"Perlu saya tegaskan kepada semua pihak bahwa lahan milik ahli waris secara yuridis belum berstatus jalan tol karena belum dibayarkan ganti ruginya, sehingga penegak hukum sekalipun tak boleh menekan warga dan ahli waris ketika melakukan pengambilalihan lahannya," kata Amin.
Pihak ahli waris pemilik lahan tetap bertahan berdasarkan putusan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) Nomor 117/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010 yang memerintahkan Kementerian PUPR segera membayarkan sisa ganti rugi lahan mereka yang dibebaskan menjadi jalan Tol Reformasi Makassar.
"Kami akan buka kembali setelah kami dibayar. Kepada masyarakat Makassar khususnya maafkan kami atas aksi ini. Karena kami berjuang mendapatkan hak kami," ucap Amin.
Dugaan Rekayasa Putusan
Masalah ganti rugi lahan itu telah dilaporkan ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi uang ganti rugi lahan oleh Kementerian PUPR.
Selain karena diduga uang ganti rugi ditilap, juga karena adanya bukti rekayasa amar putusan oleh orang dalam Biro Hukum Kementerian PU PR yang ditemukan ahli waris, yakni tentang putusan MA bernomor 266/PK/Pdt/2013.
Temuan dugaan rekayasa putusan itu berdasarkan surat yang dibuat Kementerian PUPR ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA) nomor HK.04.03-Mn/718 perihal permohonan penerbitan fatwa Mahkamah Agung sebagai penjelasan terhadap putusan perkara pengadaan lahan Tol Reformasi an Intje Koemala.
Pada poin b surat tersebut disebutkan, putusan MA nomor 266/PK/Pdt/2013 dimenangkan Ince Baharuddin dan ditandatangani Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Sementara dalam putusan asli pada perkara pada nomor yang sama, di mana Ince Baharuddin melawan Syamsuddin Sammy selaku ahli Waris Intje Koemala disebutkan dalam halaman 12 putusan nomor 266/PK/Pdt/2013 tersebut ditegaskan, mengadili dan menolak PK yang diajukan oleh Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati selaku pemohon PK. Surat keputusan ini ditandatangani pihak Mahkamah Agung melalui Panitera Muda Perdata Dr Pri Pamudi teguh.
Putusan lainnya yang memenangkan ahli waris pemilik lahan Intje Koemala, yakni pada putusan PK bernomor 117/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010. Dalam perkara itu, ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya melawan Kementerian PU-PR.
Aksi penguasaan lahan oleh ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya tersebut terkait dengan belum dibayarkannya sisa ganti rugi lahan seluas 48.222 meter persegi, dan lahan yang belum sama sekali dibayarkan seluas 22.134 meter persegi. Dengan demikian, total lahan yang belum dibayar Kementerian PUPR adalah tujuh hektare lebih.
Sisa pembayaran itu senilai Rp 9,24 miliar lebih. Sementara, yang sudah dibayarkan pada 1998 yakni sepertiga lahan seluas dua hektare lebih senilai Rp 2,5 miliar.
Advertisement