Konsep Masagi Kreasi Pemuda Garut Bebaskan Warga dari Buta Huruf

Dari semula hanya 20-30 persen anak mau sekolah, sekarang 70 persen anak-anak Garut di kampung buta huruf itu mau sekolah.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 05 Mei 2017, 06:32 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2017, 06:32 WIB
Konsep Masagi Kreasi Pemuda Garut Bebaskan Warga dari Buta Huruf
Dari semula hanya 20-30 persen anak mau sekolah, sekarang 70 persen anak-anak Garut di kampung buta huruf itu mau sekolah. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Heri Muhammad Tohari awalnya tak pernah terpikir untuk terlibat dalam upaya pemberantasan buta huruf di Garut. Lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu baru tergerak turun gunung setelah melihat kondisi warga yang tinggal di sekitarnya.

Melalui wadah Creative Institute, Heri datang ke Kampung Pasir Gelang bersama rekan-rekan seangkatannya. Saat pertama kali datang, mayoritas anak-anak belum mengetahui nama lonceng, kereta api, dan komputer, bahkan di antaranya sama sekali ada yang tidak tahu ketiganya.

"Padahal TV ada, listrik ada, namun cara belajar mereka sangat jauh sekali tertinggal," kata dia saat ditemui di kampung buta huruf, Kampung Pasir Gelang, RT 03 RW 2, Desa Mekaejaya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis, 4 Mei 2017.

Ia pun memutar otak hingga terbitlah konsep belajar yang memadukan sisi spiritualitas dan potensi budaya lokal. "Akhirnya kami mengajak mereka belajar di alam dengan memadukan main sambil belajar," kata dia.

Heri bersama tim yang dibentuknya kemudian membuat sebuah konsep belajar Masagi (Maca Sakali Ngarti) yang berarti membaca sekali paham. Ia membawa anak-anak buta huruf itu belajar membaca di alam terbuka dengan 'kaulinan barudak' atau kebiasaan belajar anak-anak.

"Ternyata, mereka mudah mengerti dan mau belajar bahkan sekolah," ujarnya.

Hendra Tohari, salah satu peneliti tim Creative menambahkan, salah satu kendala yang dihadapi saat pertama kali membina masyarakat, terutama anak-anak buta huruf, adalah belum ditemukannya pola yang pas agar mereka menerimanya.

"Mungkin saja murid tidak mau belajar karena metodenya yang tidak tepat," ujarnya.

Tiga tahun setelah pertama kali dibina pada 2014 lalu, tingkat partisipasi masyarakat dan anak-anak untuk belajar terus naik. "Dulu paling 20-30 persen anak-anak mau sekolah, sekarang sudah 70 persen, mereka jadi semangat belajar," kata dia dengan antusias.

Bahkan, cara pandang mengenai hidup sehat yang merupakan faktor utama keterpurukan masyarakat di kampung itu pun berubah drastis. "Sekarang masyarakat mau mandi dan pakai sabun. Dulu, boro-boro mereka mau mandi," ujarnya.

Cimah Rumanta, salah satu warga kampung Pasir Gelang mengakui cara belajar Masagi yang dipadukan dengan kaulinan barudak (permainan anak-anak) sangat membantu menyemangati anak-anak kampung untuk belajar. "Anak-anak jadi mau belajar dengan antusias," kata dia.

Ia berharap dengan semakin meningkatnya angka partisipasi belajar warga, tim pembelajar yang akomodasi Creative Institute bisa menambah kiprahnya sehingga mampu mengubah pola pandang masyarakat. "Tidak mudah, namun memang butuh waktu dan perjuangan," kata Cimah.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya