Liputan6.com, Jambi Jambi pernah menjadi salah satu pusat Kesultanan Melayu Islam di Sumatera. Masjid Jami' Al-Ikhsaniyah menjadi salah satu bukti kejayaan Islam di Jambi. Masjid tertua di Jambi ini sempat dianggap keramat karena tradisi sumpahnya.
Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Batu ini terletak di kawasan paling bersejarah di Jambi. Lokasinya berada di Jalan KH Ibrahim, RT 05, Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk, Kota Jambi. Untuk menuju bangunan suci bercat putih ini, pengunjung terlebih dahulu harus menyeberangi sungai terpanjang di Sumatera, Sungai Batanghari.
Ahmad Ridho (34), salah seorang warga Danau Teluk mengatakan, tradisi sumpah di Masjid Batu banyak diceritakan para orang tua. Sebab, saat ini tradisi tersebut sudah hilang sama sekali. Fungsi Masjid Batu sekarang sama seperti masjid pada umumnya.
Advertisement
"Tradisi sumpah terjadi zaman dahulu sebelum tahun 1970-an atau 1980-an," ucap pria yang biasa disapa Ridho, Kamis, 1 Juni 2017.
Baca Juga
Apabila ada dua belah pihak bersengketa dan tak kunjung ada penyelesaian secara mufakat atau kekeluargaan, tempat paling baik menyelesaikan sengketa itu adalah di Masjid Jami' Al-Ikhsaniyah. Jika ada orang yang berani bersumpah palsu di masjid tersebut, orang tersebut bakal terkena bala atau hal buruk.
Orang yang berdusta saat bersumpah di masjid tertua di Jambi tersebut akan pingsan tak sadarkan diri. Jika tak juga mengakui kebohongannya, orang tersebut bisa celaka.
"Kabarnya dahulu masjid ini sempat terkenal luas karena tradisi sumpah itu. Karenanya banyak orang tak berani bersumpah palsu di Masjid Batu," tutur Ridho.
Sejarah Pembangunan Masjid
Berdasarkan catatan sejarah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, Masjid Jami' Al-Ikhsaniyah didirikan pada 1880 oleh salah satu ulama kondang pada zamannya, yakni Sayyid Idrus atau Habib Idrus alias Pangeran Wiro Kusumo. Sayyid Idrus inilah yang juga membangun rumah batu tak jauh dari Masjid Al-Ikhsaniyah.
Rumah batu itulah yang mendasari penyebutan Masjid Batu karena masih satu lokasi. Penyebutan batu konon karena di daerah tersebut baru masjid dan rumah batu yang dibangun berbahan dasar batu atau ubin. Sementara, rumah dan bangunan lainnya masih terbuat dari kayu.
Sayyid Idrus masuk ke Jambi dari kakeknya yang disebut sebagai seorang Arab tulen dari semenanjung Arab dan bermigrasi ke Hindia Timur pada abad ke-18. Sayyid Idrus disebut memiliki darah Jambi karena ayahnya beristri seorang perempuan Melayu dari keluarga Kesultanan Jambi.
Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal lahir Sayyid Idrus. Namun berdasarkan dokumen Belanda, Sayyid Idrus berumur 40 tahun pada 1879. Dokumen itu juga mencatat sang habib meninggal pada 1905.
Selain sebagai habib sekaligus penyiar Islam, Sayyid Idrus juga dikenal sebagai seorang mediator ulung. Masuknya kolonial Belanda di Jambi kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat kala itu. Di sinilah Sayyid Idrus muncul sebagai penengah.
Karena kharisma dan kecakapannya, Sayyid Idrus diizinkan menikahi salah satu putri Sultan Nazarudin. Dari pernikahan ini, Sayyid Idrus diyakini menerima gelar Pangerah Wiro Kusumo yang disematkan oleh keluarga Kesultanan Jambi saat itu.
Sayyid Idrus juga dikenal sebagai dermawan yang kaya. Ia disegani Belanda karena kecakapannya sampai memiliki peran kuat di kesultanan. Ia bahkan diberi jabatan tinggi sebagai wakil sultan di ibu kota. Sebab pada masa itu, seorang sultan memilih tinggal jauh dari ibu kota untuk menjauhkan diri dari Belanda.
Sebelum meninggal dunia, Sayyid Idrus mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Jami Al Ikhsaniyah. Ia juga dimakamkan tak jauh dari rumah batu dan masjid tersebut.
Satu tradisi yang masih bertahan sejak zaman hidup Sayyid Idrus di masjid Batu adalah makan dalam tempeh atau wadah besar secara beramai-ramai. Tradisi ini biasanya dilakukan saat memperingati hari besar Islam.
Advertisement
Dipugar Belanda
Daerah Olak Kemang di Seberang Kota Jambi dikenal pusat perkembangan Islam di Sumatera, khususnya di Jambi. Di daerah ini banyak berdiri masjid tua hingga sejumlah pondok pesantren tua dan ternama di Jambi. Banyak santri dari bermacam daerah menimba ilmu di Seberang Kota Jambi.
Banyaknya santri dan warga menjadikan Masjid Batu tak bisa lagi menampung jemaah yang membeludak. Pada 1935, sejumlah tokoh masyarakat dan agama setempat sepakat untuk memugar masjid tersebut. Pemugarannya dibiayai dari dana sumbangan, sedekah dan infak dari masyarakat.
Mengingat saat itu Jambi di bawah kekuasaan kolonial Belanda, warga tidak bisa serta-merta memugar masjid Batu. Terlebih dahulu harus memiliki izin dengan alasan kuat kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Mengetahui Masjid Batu adalah bangunan tua bersejarah peninggalan Sayyid Idrus, usulan pemugaran tersebut disetujui Belanda. Bahkan, pihak Belanda membiayai pemugaran masjid tersebut. Hingga pada 1937 proses pemugaran dimulai. Sementara uang hasil infak dan sedekah masyarakat akhirnya digunakan untuk membangun pagar mengelilingi Masjid Batu.