Liputan6.com, Magelang Merapi, sebuah gunung berapi paling aktif di Indonesia ternyata memiliki magnet bagi warga sekitar. Siapapun yang dilahirkan di kawasan Merapi, suatu saat akan merindukan kegagahan sekaligus keanggunan gunung ini.
Mayoritas warga akan berlomba bangun pagi, untuk bisa melihat dan menyapa gunung dengan ketinggian puncak 2.930 m dari permukaan laut. Data ketinggian itu masih bisa berubah karena Merapi selalu aktif sehingga proses pembentukan kubah lava bisa naik. Namun ketinggian itu juga bisa turun ketika ada kubah lava yang longsor.
Advertisement
Di dusun Tutup Duwur Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, warga selalu membuka hari dengan menatap Merapi. Sumarjono, Kepala Dusun Tutup Duwur mengaku sebelum megawe (membajak sawah) dengan kerbau, warga dusunnya yang hanya berjarak tiga kilometer dari puncak Merapi.
"Subuh itu sudah ramai menuju ke pancuran Kali Keji untuk mandi. Mengenai air bersih, Merapi akan menyediakan sepanjang kita menjaga lingkungan hutan di sini," kata Sumarjono kepada Liputan6.com, Kamis (8/6/2017).
Merapi terakhir meletus secara dahsyat pada 2010. Ketika itu awan panas mengarah ke arah selatan, dan menewaskan Mbah Maridjan, salah satu juru kunci Merapi yang diangkat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bagaimana halnya dengan warga Tutup Duwur, Keningar, Ngargosoka yang hanya berjarak kurang dari lima kilometer dari puncak Merapi?
"Ketika itu kami memang mengungsi. Kami menghormati pemerintah yang berupaya menyelamatkan kami. Namun, setiap pagi kami masih menengok sawah dan kebun kami. Alhamdulillah semua baik-baik saja karena awan panas ke arah selatan," kata Sumarjono.
Mengubur Peradaban
Sementara itu Agus Susworo Dwi Marhaendro menyebutkan ia bersama teman-temannya rutin bersepeda hingga mendekati puncak Merapi . Berbagai jalur sudah ia lalui, terakhir melalui jalur Jurang Jero, yakni menyusuri kali Putih.
"Sampai sepeda kami tak lagi bisa digenjot karena sulitnya medan berpasir," kata Agus.
Agus mengaku tak ada rasa takut terhadap Merapi . Dosen olah raga Universitas Negeri Yogyakarta dan pelatih softball PON DIY ini menyebutkan bahwa ketika tidak berada di puncak aktivitasnya, Merapi sangat menarik untuk dieksplorasi. Baik keindahannya maupun secara akademis ilmiah.
"Nggak ada hujan kan juga nggak bakal banjir lahar," kata Agus.
Berbagai aktivitas warga di sekitar Merapi itu seakan melupakan bahwa Merapi pernah mengubur Borobudur dan peradaban Hindu-Budha Mataram kuno. Sejarawan dan arkeolog Van Bemmelen pada tahun 1943 pernah mengajukan argumen bahwa runtuhnya lereng barat daya Gunung Merapi terjadi pada zaman sejarah, yaitu pada 1006 Masehi.
Letusan dahsyat itulah yang mengubur Candi Borobudur, Candi Kajangkoso, Candi Ngawen, Candi Asu dan candi-candi lain di Mataram Kuno. Faktor ini pula yang mengharuskan kerajaan Hindhu dan Budha Mataram mundur lalu penerusnya pindah ke daerah Jawa Timur.
Sementara itu pendapat Van Bemmelen disanggah doktor Sri Mulyaningsih dalam disertasi doktoralnya pada tahun 2005. Sri Mulyaningsih yang mengkaji berdasarkan inskripsi prasasti Sangguran menyebutkan bahwa kerajaan Mataram Hindu-Budha pindah ke Jawa Timur pada 928-929 Masehi.
Kejadian ini dikenal dengan Pralaya 1006. Sedangkan studi volkanostratigrafi, selama abad 8-10 telah terjadi 5 kali periode letusan Merapi yaitu pada 732, 882, 960, 1252 dan 1587 Masehi.
Dari studi stratigrafi dan data pentarikhan yang berdasar endapan karbon, diketahui bahwa sebagian dari candi-candi dibangun setidaknya sejak abad ke I-II dan banyak pula yang dibangun setelah abad ke X. Endapan Gunungapi Merapi yang mengubur candi-candi, sedikitnya terdiri dari 8 sekuen yang masing-masing sekuen dibatasi oleh paleosol.
Didasarkan pada analisis pentarikhan itu menjumpai penyebaran masing-masing sekuen endapan tersebut berbeda satu sama lainnya. Hal itu berarti bahwa proses pengendapan bahan letusan tersebut secara bertahap, yang masing-masing tahap terjadi secara sektoral dan volumenya bervariasi.
Advertisement