Liputan6.com, Jakarta - Gajah Mada kembali "hidup". Diskusi tentang Gajah Mada menghangat belakangan ini. Pemicunya adalah pendapat berbeda tentang sejarah sang mahapatih. Penafsiran Gajah Mada adalah Gaj Ahmada memantik diskusi tentang tokoh ini.
Pembahasan Gajah Mada memang menarik perhatian. Ketenaran Gajah Mada, sang Mahapatih Amangkubhumi Majapahit, jauh mengungguli para Raja Majapahit pada umumnya. Bahkan Gajah Mada jauh lebih disegani dibandingkan dengan Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit yang berjuluk Rajasanegara (1350-1389).
Advertisement
Hingga saat ini kepemimpinan Gajah Mada masih dijadikan acuan dan teladan oleh masyarakat Indonesia. Muhamad Yamin telah menjadikan sosok Gajah Mada sebagai suatu karakter dalam mencapai kesatuan nasional (national building).
Advertisement
Utamanya Yamin mengangkat kiprah Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara melalui sumpahnya yang terkenal, Sumpah Palapa. Dengan demikian, Yamin berusaha menunjukkan kepada khalayak bahwa persatuan Nusantara bukanlah suatu omong kosong karena telah dirintis sejak berabad-abad sebelumnya.
Baca Juga
Apa dasarnya Gajah Mada mengucap sumpah? Agus Aris Munandar dalam Sumpah Palapa Gajah Mada menyebutkan, tujuannya adalah membendung pengaruh kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Masa itu (abad ke-14), berdiri Kerajaan Ayut’ia (Ayudhya) yang pengaruhnya sampai ke Myanmar.
Ada juga Kerajaan Champa (Cina) yang sudah menjalin hubungan baik dengan Majapahit. Di Trowulan bahkan ditemukan makam Putri Campa serta boneka tanah liat bakar yang menggambarkan figur wajah Asiatic Mongoloid.
Di pihak lain, serangan Jayakatwang berhasil menghancurkan Singasari dengan terbunuhnya Raja Kertanegara. Khubilai Khan pun terus memperluas wilayah kekuasaannya. Namun seiring kematiannya, justru banyak terjadi pemberontakan yang merongrong kekuasaan raja-raja Mongol.
Gajah Mada menyadari betul hal itu. Ia berencana memperkuat posisi Kerajaan Majapahit yang sudah disegani oleh para mitra satata. Negarakertagama menyebut para negara sahabat itu adalah kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara selatan, Thailand, Myanmar, Kamboja dan Vietnam.
Gajah Mada pun mengangkat sumpah di pertemuan lengkap para pejabat tinggi Majapahit, di balairung tanpa dihadiri Ratu Tribhuwana Tungga Dewi. Seperti ditafsirkan dari Pararaton, Gajah Mada tampil berdiri sambil memegang senjatanya (masih diperdebatkan apakah keris atau gadha), lalu berkata:
“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Seturut sumpah itu, Gajah Mada mengatakan ada 10 wilayah di Nusantara yang harus mengakui kejayaan Majapahit, yaitu Gurun (Lombok), Seran (kepala burung di Papua), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Semenanjung Melayu), Dompo (Sumbawa, dekat Bima), Sunda (Jawa Barat), Bali, Palembang (Sumatera Selatan), dan Tumasik (Singapura).
Sumpah Gajah Mada dapat ditafsirkan, “Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa jikalau seluruh Nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara.” Amukti palapa di sini diartikan cuti, bebas tugas, menghentikan aktivitas atau bersenang-senang.
Sejarah Melayu menyebut Gajah Mada berhasil menaklukkan Tumasik yang telah menjadi jalur strategis dari Selat Malaka ke Laut Cina Selatan dan sebaliknya. Gajah Mada juga diberitakan telah menyerang Sriwijaya dan lalu Pasai pada 1350. Penduduk setempat di Pasai menyatakan ada bukit di dekat Kota Langsa bernama Manjak Pahit, yang berasal dari kata Majapahit.
Rawa yang membentang di antara Perlak dan Peudadawa dinamai Rawa Gajah, besar kemungkinan dari kata Gajah Mada. Ini menunjukkan bala tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada pernah datang ke Pasai.
Gajah Mada dianggap berhasil melaksanakan sumpahnya karena ia memang penjelmaan beberapa dewa penting. Gajah Mada dianggap anak Dewa Brahma, menyerupai Ganesha, reinkarnasi vahana (hewan tunggangan) Indra dan sumber-sumber Bali—tempat yang dipercaya menjadi tempat kelahiran Gajah Mada—menyebutnya penjelmaan Dewa Wisnu.