Kisah Pembantaian 400 Orang di Tepian Sungai Tiwi Maluku

400 orang dibunuh karena mempertahankan adat istiadat dan menuntut hak-hak mereka.

oleh Ola Keda diperbarui 15 Agu 2017, 05:00 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2017, 05:00 WIB
Sejarawan
Sejarawan dan juga wartawan senior, Peter A. Rohi asal Nusa Tenggara Timur. Foto: (Ola Keda/Liputan6.com)

Liputan6.com, Maluku - Sejarawan dan juga wartawan senior, Peter A. Rohi asal Nusa Tenggara Timur (NTT) menginvestigasi pembunuhan 400 orang di Sungai Tiwi, Emplawas Babar, kepulauan Maluku, Kabupaten Maluku Barat Daya, Propinsi Maluku tahun 1944. Jepang melucuti penduduk setempat karena mempertahankan hak-hak adat.

Investigasi yang menggemparkan dunia dan Tokyo ini telah dimuat di koran Sinar Harapan. Kisah itu ditulisnya berjudul 'Perjalanan Jurnalistik ke Desa Emplawas, Pulau Babar, Gegerkan Tokyo'. Tulisan itu juga diunggah di akun Facebook milik Peter A. Rohi pada 4 Agustus 2017. Berikut cuplikan tulisannya;

Kemarin, tiba-tiba saya menemukan buku catatan saya tentang perjalanan ke Desa Emplawas. Saya menuju ke desa itu bukan suatu tujuan ketika mulai berlayar dari Surabaya, tepat Hari Pers Nasional I, Februari 1985 untuk melakukan suatu perjalanan berarti, yaitu menuju wilayah-wilayah terpencil. Tentu dengan biaya sendiri, karena tanpa memberi tahu redaksi, saya melakukan tugas floating saya.

Kadang-kadang Redaktur Sinar Harapan, Daud Sinyal mengingatkan bagian keuangan untuk mengganti biaya perjalanan saya, tetapi tidak selalu apalagi saya sering naik perahu, naik kuda, bahkan berjalan kaki berhari-hari.

Akomodasi pun tentu tidak di hotel standar atau berbintang. Sering di rumah penduduk atau di Saung. Makan pun mencari sendiri, tangkap ikan atau udang yang “menghampiri” di negeri kolam susu ini. Banyak yang tidak memiliki bukti sah seperti kuitansi untuk bukti pengeluaran uang.

Pagi ini, menyusul saya menemukan laporan perjalanan ke Desa Emplawas itu untuk Sinar Harapan dan juga surat-surat untuk sahabat Agil H. Ali (alm) yang saya tulis selama pelayaran.

Saya mengenal nama Desa Emplawas dari Pak Buce Uniwally, purnawirawan Polisi di Tual, saat menginap di rumahnya dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Tetapi mendengar kisah dari Pak Buce, saya menyimpulkan desa ini menyimpan rahasia sejarah Perang Pasific (Perang Dunia II) yang tidak pernah diungkapkan: Pembunuhan massal tentara Jepang pada penduduk desa itu, perempuan, laki-laki, dan anak-anak pada 5 Oktober 1944. Maka saya pun memutuskan untuk menunda pulang dan menanti pelayaran lain menuju Pulau Babar.

Kapal Perintis Niaga XV yang semula saya tumpangi mengelilingi puluhan pulau di sini, kebetulan rusak dan harus naik dock di Surabaya. Saya pun menumpang kapal pengganti yang tentu lebih kecil, dan berlabuhnya jauh dari pantai.

Saya tidak sempat masuk ke Kota Tepa, karena sebuah perahu motor kecil malam itu  akan menuju Letwurung. Saya sejak dari Tual ditemani Pak Conie Uniwally, pensiunan perawat, juga tidak sempat berlama di rumahnya di Tepa.

Pagi hari kami meneruskan perjalanan ke Emplawas.

Sore menjelang maghrib terdengar dari ujung Desa Marinyo John de Fretes menyambut kami dengan menabuh gong kecil berjalan sepanjang jalan desa mengumumkan kedatangan saya. Beruntung sekali, saya masih bisa bertemu dengan 15 orang tua yang mengalami penembakan massal di Sungai Tiwi. Ketika itu mereka masih anak-anak dan selamat karena dilindungi orangtua mereka.

Setelah Jepang pergi mereka menyembul keluar dari dalam air meninggalkan mayat ratusan orang tua dan saudara-saudara mereka di Sungai Tiwi yang berubah merah itu.

Pagi itu, 12 Maret 1985 saya dan penduduk dan murid-murid bergerak ke Sungai Tiwi, lokasi pembunuhan massal itu terjadi. Selesai acara tabur bunga di sebuah tugu yang mereka dirikan kami mencoba masuk ke air.

Tulang paha dan tengkorak masih menyembul dari pasir. Banyak yang meneteskan air mata.

“Setiap ke sini air mata saya tak bisa dibendung,” kata Daud Peloili, pejabat Kepala Desa yang berbadan kekar. Tulang belulang masih saja muncul, pada hal dulu sudah kami pindahkan ke kuburan massal di lokasi tugu,” ucapnya.

Di situ saya merasa kecil, merasa belum apa-apa. Perjalanan 42 hari, dan belum sempat beristirahat bukan apa-apa dibanding 400 jiwa yang tewas di sungai itu karena harus mempertahankan harga diri mereka, hak-hak mereka, adat istiadat mereka yang diinjak-injak Jepang.

Ketika saya kembali lewat laut memutar dari selatan, dari Lautan Hindia saya tatap Tugu kecil tegak kukuh walau senantiasa diterpa angin laut samudera. Sayup-sayup terngiang ucapan Christofel Leklora yang saya wawancarai semalam:

"Di bawah pohon beringin abang saya sudah tidak kuat lagi berjalan kehabisan darah. Saat itu saya berumur 6 tahun. Abang menyuruh saya berjalan terus meninggalkan dia. Saya tidak beranjak dari situ sampai dia tidak lagi bernafas,” tulisannya.

Ada sebuah lagu yang menyayat hati, yang mereka gubah untuk mengenang peristiwa itu. Hampir semua kita menangis hanyut oleh lagu itu. Gelombang samudera tiba-tiba menghempas membuat saya sadar bahwa perahu kecil yang didorong mesin Johnson 20 PK tidak seimbang berlayar di tepi laut yang sangat luas itu.

"Tulisan saya membuat Tokyo gempar. Saya diundang Kedubes Jepang di Jakarta makan siang di Restoran Korea di Gedung Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta," kisahnya kepada Liputan6.com, Senin, 14 Agustus 2017.

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya