Liputan6.com, NTT - Terompet Proklamasi, itulah gelar yang diberikan kepada Riwu Ga, pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dengan berani dan nekat mengabarkan berita kemerdekaan pada masyarakat Jakarta. Belum banyak radio dan tak ada siaran langsung, sehingga praktis rakyat biasa mendengar berita kemerdekaan dari mulut Riwu Ga.
Usai mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sukarno atau Bung Karno menggamit Riwu Ga, pembantu setianya. Bawa bendera, keliling Jakarta dengan jip terbuka. Sebarkan pada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Jip itu dikemudikan Sarwoko.
"Saya melambai-lambaikan bendera sepanjang jalan. Kami berhenti di tempat-tempat ramai. Rakyat berjubel melihat kami, tentu mereka bertanya ada apa," tutur Peter A Rihi, sejarawan juga wartawan senior sesuai hasil wawancaranya dengan Riwu Ga kepada Liputan6.com, Rabu, 16 Agustus 2017.
Advertisement
Saat itu memang tegang. perwira tinggi Jepang, yakni Laksamana Maeda memberikan kesempatan untuk Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tapi, Jenderal Yamamoto yang memimpin militer Jepang di Indonesia, tidak mengizinkan.
"Beberapa kali Riwu Ga dicegat pasukan Jepang, tetapi dia sudah nekat. Ini perintah dari Bung Karno. 'Perhatian, perhatian, bangsa Indonesia sudah merdeka. Hari ini.' Semula mereka diam, seakan menanti apa yang akan saya katakan lagi. 'Kita sudah merdeka saudara-saudara. Merdeka, Merdeka!' sambil saya mengepalkan tangan ke atas," ucap Peter menirukan penuturan Riwu Ga saat itu.
"Ucapan itu langsung mendapat sambutan, merdeka, merdeka," cerita Riwu Ga kepada Peter.
Riwu Ga sendiri mengatakan tidak tahu mengapa Bung Karno memerintahkan dia, bukan para pemuda atau prajurit PETA yang berseragam. Ternyata, Bung Karno ingin memberi arti bagi sahabatnya yang buta huruf itu yang telah setia menemaninya dalam berbagai derita selama perjuangan.
"Bung Karno tidak pernah menjelaskan, dan Riwu Ga pun tidak pernah bertanya," kata Peter.
Lama Riwu Ga menutup diri. Jejaknya pun sukar dilacak. Dari Flores, Riwu saya mencari sampai ke Pulau Sabu. Ternyata, ia menyendiri di ladang jagungnya di tengah Hutan Gewang, jauh di daratan Pulau Timor.
Setelah bersusah payah ditemukan dia pun semula tak mau bicara, karena dia tak ingin melanggar janjinya pada Bung Karno dan pada dirinya sendiri untuk tidak mengumbar peranannya selama mengikuti Bung Karno di pembuangan Ende sampai ke Bengkulu, dan berakhir pada detik proklamasi di Jalan egangsaan.
Walau namanya disebut-sebut dalam buku Ibu Inggit Garnasih dan Cindy Adams, namun ssosok ini hilang bagai di telan bumi. Banyak yang menyangka Riwu Ga telah tiada.
Baca Juga
"Sebagai wartawan saya tak putus asa melakukan investigasi dari pulau ke pulau, karena hanya dia yang paling dekat dengan Bung Karno selama masa perjuangan sampai proklamasi," imbuh Peter.
Akhirnya, pada bulan Agustus 1991 lewat pendekatan tradisional, dengan membawa sirih pinang dan mengucapkan permintaan dalam bahasa Sabu yang halus dan sakral, bahwa dalam kepercayaan adat, orang tua berkewajiban mengisahkan pengalamannya pada para keturunannya. Itulah peran sejarah yang dituturkan dari generasi ke generasi.
Ia memang menyimpan banyak kenangan selama 14 tahun mengikuti Bung Karno. Itulah sebabnya Bung Karno meminta penulis biografinya, Cindy Adams untuk melakukan konfirmasi semua data dan informasi pada Riwu Ga. Taka da orang lain yang lebih dekat dengan Bung Karno pada masa-masa yang berat seperti itu, kecuali Inggit Garnasih dan Riwu Ga.
Setelah itu ia membisu, pulang kampung halaman tidak pernah menceritakan pengalamannya pada siapa pun, juga pada istri dan anak-anaknya, para tetangga, apalagi pemerintah daerah.
Upacara Pertama Sekaligus Terakhir
Satu-satunya upacara 17 Agustus yang pernah diikutinya adalah saat proklamasi kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta (saat ini Gedung Pola, Jalan Proklamasi Nomor 1, Jakarta Pusat), lalu ia disuruh oleh Bung Karno berkeliling Jakarta menyebarkan berita kemerdekaan pada warga jelata Jakarta.Setelah itu, ia tak pernah diundang hadir dalam upacara HUT Proklamasi, karena dia hanya orang kecil yang tak dikenal.
Riwu Ga meninggal pada usia 78 tahun, tepat pada saat upacara penurunan bendera merah putih, senja hari 17 Agustus 1996, atau tepat 51 tahun ketika ia berkeliling Kota Jakarta menyebarkan berita kemerdekaan. Ia lahir di Desa Depe, dekat Kota Seba di Pulau Sabu, NTT, yang terletak di batas Samudera Hindia.
Adalah Chritofel Kana, dosen universitas Nusa Cendana yang membantu melacak jejak Riwu Ga dan Yusak Riwu Rohi, kini Direktur Harian Timor Express yang berjasa dalam melakukan pendekatan tradisional agar Riwu Ga mau membuka suara.
Menurut dia, banyak yang kemudian mengutip ucapan-ucapan Riwu Ga, tanpa menyebut sumber. Padahal, usai proklamasi, hanya wartawati Amerika Serikat Cindy Adams dan dirinya yang pernah mewawancarai Riwu Ga, yang semasa mengikuti Bung Karno menjalankan berbagai tugas, sebagai pelayan dan juga pengawal.
"Tentu lebih berat mengawal seseorang yang kemudian menjadi proklamator dan presiden daripada mengawal seorang yang telah menjadi presiden sesudah itu," Peter memaparkan.