Gubernur DIY Boleh Dijabat Perempuan, Apa Kata Sultan Yogya?

Putusan MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 18 Ayat 1 huruf m UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 02 Sep 2017, 10:02 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2017, 10:02 WIB
Gubernur DIY Boleh Dijabat Perempuan, Apa Kata Sultan Yogya?
Putusan MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 18 Ayat 1 huruf m UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi Pasal 18 Ayat 1 huruf m UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Hal itu berdampak pada laki-laki maupun perempuan yang bertakhta di Keraton Yogyakarta sekaligus menjadi Gubernur DIY.

Lembar putusan MK menyatakan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sebab memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Sebagian kalangan menganggap pasal itu kontroversial karena diskriminatif dan menyiratkan makna hanya laki-laki yang bisa menjadi Gubernur DIY (ditunjukkan dengan riwayat istri).

Gugatan uji materi atas pasal itu diajukan 11 orang yang berasal dari kalangan abdi dalem Keraton Yogyakarta, perangkat desa, penggiat antidiskriminasi, dan hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ke MK pada 2016.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan negara memiliki konstitusi yang melarang diskriminasi. "Negara tidak melarang, siapa saja bisa jadi pemimpin," ujarnya, Kamis, 31 Agustus 2017.

Karena itu, ia berharap semua pihak yang menentang pengajuan uji materi ini bisa menerima dengan lapang dada. Terkait paugeran baru, Sultan enggan berkomentar. Ia menilai paugeran hak raja yang bertakhta.

"Ini kan soal gubernur," ucapnya.

Kuasa hukum pemohon, Irmanputra Sidin, mengapresiasi putusan MK yang memberi basis hukum yang kokoh.

"Siapa pun itu, baik perempuan atau laki-laki, adalah berhak memimpin, berhak menjadi raja dan bagian dari urusan internal kasultanan dan kadipaten," ujarnya dalam siaran pers kepada wartawan.

Ia menilai putusan MK merupakan cerminan manifestasi perlindungan hak-hak setiap orang di muka bumi ini tanpa harus mendiskriminasi kaum perempuan atau lainnya untuk menjadi raja, ratu, sultan, sultanah, Arung (Bugis), Butta (Makassar), kaisar, dan seterusnya.

Kejadian ini, tutur Irmanputra, membawa pesan penting bagi perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme di seluruh dunia, yakni tidak ada lagi monopoli laki-laki dalam dunia kepemimpinan di Indonesia.

Saksikan video menarik di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya